H. Sukarno Terpilih Aklamasi Pimpin DPD LDII Kota Jambi Periode 2025–2030 Ikhlas Berjuang, Tulus Mengabdi: LDII Kota Jambi Kukuhkan Semangat Baru Lewat MUSDA VI Atlet Tarung Derajat Jambi Dilepas Menuju PON Bela Diri II di Kudus Pasukan 08 Sumatera Selatan Gelar Rapat Konsolidasi, Perkuat Soliditas dan Struktur Organisasi Dentum Semangat Ksatria Muda Menggema di Bungo, Dandim Cup ke-3 Tahun 2025 Dibuka

Home / Artikel

Rabu, 1 Oktober 2025 - 12:00 WIB

Api Pancasila Tak Pernah Padam: Menolak Lupa, Menjaga Bangsa

“Bangsa yang melupakan sejarahnya ibarat pohon rapuh yang tercabut dari akarnya. Tanpa Pancasila, Indonesia hanyalah hamparan tanah tanpa jiwa. Tetapi dengan Pancasila, bangsa ini tetap tegak, meski badai pengkhianatan berulang kali mencoba merobohkannya.”

SETIAP bangsa memiliki titik balik sejarah yang menentukan arah perjalanan masa depannya. Bagi Indonesia, salah satunya adalah peristiwa kelam pada 30 September 1965 yang kemudian diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober. Hari ini bukan sekadar simbol, bukan pula ritual formal yang diulang tiap tahun tanpa makna, tetapi sebuah penanda bahwa Pancasila pernah diguncang oleh ancaman nyata yang ingin meruntuhkan dasar negara. Dari tragedi itulah kita belajar, bahwa bangsa ini hanya akan tetap berdiri tegak jika seluruh rakyatnya memegang erat nilai-nilai Pancasila.

Namun, semakin tahun berjalan, gema Hari Kesaktian Pancasila kerap terdengar samar. Di sebagian ruang publik, ia tereduksi menjadi sekadar upacara di sekolah-sekolah atau instansi pemerintah, lalu selesai begitu saja. Bahkan, ada yang nyaris melupakannya, seolah-olah ia hanyalah catatan masa lalu yang tak relevan dengan kehidupan hari ini. Padahal, sesungguhnya Hari Kesaktian Pancasila adalah pengingat kolektif akan harga mahal dari sebuah persatuan bangsa. Jika sejarah ini dilupakan, maka kita sedang membiarkan generasi mendatang tumbuh tanpa fondasi kebangsaan yang kokoh.

Baca :  Sekolah Rakyat: Jalan Baru Menuju Harapan Anak Bangsa

Tragedi G30S/PKI tidak hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang pertarungan ideologi. Pancasila yang lahir sebagai konsensus bangsa dipertaruhkan di tengah usaha untuk menggantikannya dengan paham lain yang berlawanan dengan jiwa Indonesia. Sejarah mencatat, para pahlawan bangsa, termasuk tujuh perwira TNI Angkatan Darat yang gugur di Lubang Buaya, serta banyak prajurit dan rakyat sipil, telah membayar mahal dengan nyawa demi memastikan Pancasila tetap berdiri tegak. Dari pengorbanan itulah lahir pelajaran bahwa ideologi negara bukanlah sesuatu yang dapat ditawar, melainkan fondasi yang harus dijaga bersama.

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila sesungguhnya bukan hanya milik para purnawirawan, tentara, atau pejabat negara. Ia adalah milik seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Tanggung jawab menjaga api Pancasila ada di pundak kita semua, karena tanpa kesetiaan pada nilai-nilai Pancasila, bangsa ini akan mudah terpecah oleh perbedaan suku, agama, dan kepentingan.

Baca :  Babinsa Talang Belido Gelar Komsos, Ajak Warga Jaga Lingkungan Asri

Hari ini, ancaman terhadap Pancasila tidak selalu datang dalam bentuk kudeta berdarah atau pemberontakan fisik. Tantangan zaman modern jauh lebih halus, menyusup melalui derasnya arus informasi, propaganda digital, hingga gaya hidup individualis yang perlahan-lahan bisa meruntuhkan kebersamaan. Generasi muda yang tidak lagi akrab dengan sejarah bangsanya bisa saja goyah ketika dihadapkan pada ideologi asing yang menawarkan kemudahan semu. Di sinilah letak urgensi memperingati Hari Kesaktian Pancasila: bukan untuk mengulang trauma masa lalu, tetapi untuk memperkuat kesadaran kebangsaan agar bangsa ini tidak kehilangan arah.

Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan bangsa Indonesia bukan semata-mata karena senjata atau jumlah tentara, melainkan karena kesediaan rakyatnya untuk bersatu dalam perbedaan. Pancasila lahir dari rahim perbedaan itu, menyatukan beragam agama, bahasa, dan budaya dalam satu nafas kebangsaan. Itulah mengapa Hari Kesaktian Pancasila tidak boleh hanya dimaknai sebagai seremoni tahunan, melainkan harus dihayati sebagai refleksi moral: apakah kita sungguh-sungguh menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, ataukah hanya menghafalkannya di atas kertas.

Baca :  Babinsa Koramil Sebapo Hadiri Peringatan Maulid Nabi di SMAN 3 Muaro Jambi

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu belajar dari masa lalunya. Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan kita bahwa persatuan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Tugas generasi sekarang bukanlah mengulang sejarah kelam itu, melainkan memastikan agar peristiwa serupa tidak pernah terjadi lagi. Dan itu hanya mungkin bila Pancasila dijaga, dipahami, dan diamalkan, bukan sekadar dihafalkan.

Akhirnya, Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya tentang mengenang peristiwa, tetapi tentang menyalakan kembali api kebangsaan yang kadang mulai meredup. Api itu harus tetap menyala dalam hati setiap warga negara, agar Indonesia tidak kehilangan jati dirinya. Sebab tanpa Pancasila, bangsa ini hanyalah kumpulan manusia yang mudah dipecah oleh perbedaan. Dengan Pancasila, Indonesia adalah rumah bersama yang kokoh, tempat seluruh anak bangsa dapat hidup berdampingan dengan damai dan bermartabat.

“Pancasila bukan sekadar sejarah, melainkan nafas bangsa. Selama kita menjaganya, Indonesia akan tetap tegak berdiri.”

Penulis: Letkol (Purn) Firdaus

Share :

Baca Juga

Artikel

Selat Malaka: Harta Karun Maritim yang Tidak Dinikmati Indonesia

Artikel

“Manifesto Kebangsaan”: Sebuah Jalan Terang Menuju Indonesia Adil, Makmur, dan Berdaulat

Artikel

KOPI PAHIT (2): Pilkada dan Gaple Syar’i

Artikel

Janji Para Raja dan Sultan Nusantara: Kedaulatan, Kekayaan Alam, dan Amanah Konstitusi UUD 1945 yang Diabaikan

Artikel

Seleksi Penerimaan Cata PK TNI AD di Korem 042 Gapu Dipantau Ketat Tim Wasgiat Mabesad

Artikel

“Hari Juang Infanteri ke-76”: Semangat Pantang Menyerah untuk NKRI yang Berdaulat

Artikel

Panen Raya Oligarki: Saatnya Negara Kembali ke Pangkuan Rakyat..!

Artikel

HUT ke-63 Kerinci, Masihkah Menuduhnya sebagai Tanah Surga?