Oleh : Letkol (Purn) Firdaus
Pada setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala dalam hening, merenungkan perjalanan panjang bangsa ini yang ditempa oleh darah, air mata, dan pengorbanan. Hari Pahlawan bukan sekadar peringatan seremonial; ia adalah ruang batin untuk menakar kembali siapa kita sebagai bangsa, dan ke mana kita hendak melangkah.
“Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” demikian pekik Bung Karno. Kalimat itu bukan sekadar seruan heroik, melainkan tekad dan keyakinan bahwa kejayaan bangsa bertumpu pada generasi yang berkarakter, berani, dan mencintai tanah airnya dengan perbuatan, bukan hanya ucapan.
Dalam setiap episode sejarah, para pahlawan tidak pernah menunggu kenyamanan atau kepastian. Mereka melangkah justru ketika masa depan terlihat gelap. Mereka tahu bahwa harga kemerdekaan adalah keberanian menghadapi ketidakpastian, keteguhan pada prinsip, dan kesediaan berkorban demi yang lebih besar dari diri sendiri.
Hari ini, saat bangsa ini dihadapkan pada tantangan yang berbeda—ketimpangan ekonomi, polarisasi politik, derasnya informasi yang memecah perhatian, serta ancaman erosi karakter generasi muda akibat budaya instan—semangat kepahlawanan itu dituntut hadir dalam wajah baru. Kita tidak lagi berperang dengan bedil dan meriam, namun melawan ketidakpedulian, korupsi moral, apatisme, serta hilangnya empati sosial.
Pahlawan masa kini bukan hanya mereka yang mengangkat senjata, tetapi siapa saja yang menjaga integritas di tengah godaan pragmatisme; yang memilih jujur ketika banyak jalan pintas terbuka; yang bekerja tulus bagi masyarakat tanpa pamrih; yang mendidik generasi dengan kasih dan keteladanan; yang melindungi negeri ini dari perpecahan dan kebencian.
Generasi muda hari ini hidup pada era keterbukaan dan kompetisi global. Mereka bukan generasi lemah; mereka generasi yang diberi kesempatan untuk mewarisi panggilan sejarah: menyempurnakan kemerdekaan dengan karya, inovasi, keberanian, dan akhlak yang baik. Sebagaimana Jenderal Sudirman pernah menegaskan, *“Tentara tidak boleh menyerah, selama masih ada denyut nadi.”* Begitu pula rakyat Indonesia—tidak boleh menyerah pada pesimisme dan kegaduhan, selama semangat cinta tanah air masih berdenyut dalam dada.
Bangsa ini tidak hanya butuh pemimpin besar, tetapi juga rakyat besar. Kita telah memiliki contoh: mereka yang berjuang dalam sunyi, bekerja tanpa sorak sorai, dan memilih setia pada nilai kebangsaan.
Pada momentum Hari Pahlawan ini, marilah kita tegapkan kembali janji kebangsaan: menjaga persatuan, menebarkan kebaikan, menjadi pembawa damai, serta terus membangun negeri ini dengan kesungguhan.
Karena mencintai Indonesia tidak berhenti pada nyanyian lagu kebangsaan atau pengibaran bendera. Cinta pada tanah air adalah kerja, adalah keteladanan, adalah keberanian memilih jalan yang benar meski panjang dan terjal.
“Teladani pahlawanmu. Cintai negerimu”. Di tangan kita, semangat itu tidak boleh padam. (JT5










