Oleh: Dr. Fahmi Rasid
Dosen UM Jambi & Sekretaris PUSDIKLAT LAM Provinsi Jambi
DALAM menghadapi dinamika pembangunan nasional dan global yang semakin kompleks, Provinsi Jambi dituntut untuk tidak hanya responsif, tetapi juga adaptif terhadap perubahan. Tahun 2026 menjadi momentum penting untuk memperkuat tata kelola pemerintahan yang tidak lagi bersifat top-down semata, melainkan terintegrasi secara vertikal dan horisontal melalui pendekatan *Multi-Level Governance* (MLG).
Konsep MLG menekankan koordinasi lintas tingkat pemerintahan—dari pusat hingga desa—dan pelibatan berbagai aktor non-negara seperti pelaku usaha, akademisi, serta masyarakat sipil. Lebih dari sekadar pembagian kewenangan, MLG bertujuan membangun sinergi dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik.
Di Provinsi Jambi, pendekatan ini sangat relevan mengingat keragaman wilayah, potensi, dan tantangan yang berbeda-beda. Contoh konkret dapat dilihat dalam pengembangan kawasan Candi Muaro Jambi. Keberhasilannya tak bisa hanya bergantung pada kebijakan provinsi, melainkan harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, masyarakat adat, hingga pelaku ekonomi lokal. Inilah esensi dari MLG: menyatukan berbagai level dan kepentingan dalam satu visi pembangunan bersama.
Namun, penerapan MLG membutuhkan kesiapan menghadapi tantangan mendasar, yaitu:
1. Koordinasi antar-pemerintah yang masih lemah akibat tumpang tindih kewenangan dan ego sektoral. Forum seperti Musrenbang perlu diperkuat agar menjadi ruang deliberatif, bukan formalitas tahunan.
2. Kapasitas SDM dan kelembagaan di tingkat kabupaten/kota dan desa yang perlu ditingkatkan agar mampu menjalankan fungsi kolaboratif.
3. Transparansi dan akuntabilitas yang dapat ditingkatkan melalui e-governance dan sistem pelaporan kinerja berbasis SAKIP.
4. Partisipasi publik yang harus dijamin sejak tahap perencanaan, bukan sekadar penerima kebijakan.
Arah Kebijakan Spasial Jambi 2026
Sebagai bagian dari strategi nasional pembangunan wilayah, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 menempatkan Provinsi Jambi sebagai simpul pertumbuhan baru di Sumatera. Rencana pembangunan tahun 2026 diarahkan melalui lima kategori kawasan utama:
Kawasan Pertumbuhan, seperti Perkotaan Jambi, Sungai Penuh, Bangko, dan Muara Bungo, dikembangkan sebagai pusat layanan, infrastruktur, dan pariwisata.
Kawasan Komoditas Unggulan di Tanjab Timur, Tanjab Barat, dan Cekungan Batanghari menjadi pusat produksi sawit dan karet.
Kawasan Swasembada Pangan, Air, dan Energi, dengan fokus di Tanjab dan Bukit Barisan Tengah, diarahkan mendukung ketahanan sumber daya strategis.
Kawasan Konservasi dan Rawan Bencana, meliputi TN Bukit Duabelas, Kerinci Seblat, hingga Berbak–Sembilang, diprioritaskan untuk perlindungan ekologis dan mitigasi iklim.
Pendekatan spasial ini sejalan dengan teori place-based policy (OECD, 2020) yang menekankan kekuatan lokal sebagai dasar kebijakan, serta teori regional development (Barca et al., 2012) yang menyarankan pentingnya penguatan kapasitas lokal dan koordinasi lintas tingkat.
Dari sisi kebijakan publik, pendekatan evidence-based and adaptive policymaking (Cairney et al., 2019) menjadi landasan penting: kebijakan yang strategis namun fleksibel, berbasis data, dan responsif terhadap dinamika sosial-ekonomi.
Menuju Tata Kelola Inklusif dan Kolaboratif
Di bawah visi “Mantap, Berdaya Saing, dan Berkelanjutan 2025–2029” yang dicanangkan Gubernur Dr. H. Al Haris, prinsip-prinsip MLG mulai ditanamkan. Inisiatif integrasi data, digitalisasi layanan publik, serta pengembangan kawasan strategis lintas kabupaten menunjukkan arah kebijakan yang terbuka dan kolaboratif.
Namun, untuk menjadikan MLG sebagai arsitektur utama tata kelola 2026, Provinsi Jambi perlu menyusun **roadmap implementasi MLG** yang konkret. Ini mencakup:
* Pelatihan lintas aktor pemerintahan dan non-pemerintah.
* Pembentukan forum koordinasi berkala lintas level dan lintas sektor.
* Reformasi regulasi yang menjamin sinergi lintas kewenangan.
Lebih jauh, MLG bukan sekadar reorganisasi struktural, melainkan perubahan paradigma: dari model pemerintah yang mengatur ke pola pemerintahan yang melayani dan terbuka. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam ekosistem kolaboratif, di mana masyarakat turut merancang masa depan bersama.
Kesimpulan: Jambi sebagai Model Pembangunan Wilayah
Dengan keunggulan spasial dan sumber daya strategis, Jambi memiliki peluang besar untuk menjadi model pembangunan wilayah berbasis MLG. Kebijakan yang menggabungkan visi teknokratis, kekuatan lokal, dan kolaborasi multi-level akan menjadikan Jambi sebagai pelopor tata kelola progresif, inklusif, dan berkelanjutan di tengah dinamika nasional dan global.
Tahun 2026 bukan sekadar angka, tetapi titik tolak menuju masa depan yang lebih demokratis, efisien, dan bersinergi—sebuah Jambi yang benar-benar Mantap dalam arti sesungguhnya. (Jt54)