Oleh: Letkol (Purn) Firdaus
INDONESIA merdeka 80 tahun. Bendera berkibar, pidato heroik terdengar setiap 17 Agustus. Tapi sebagian rakyat masih bergelut dengan kemiskinan, keterbatasan pendidikan, dan layanan kesehatan yang jauh dari memadai. Kemerdekaan bukan sekadar simbol; ia baru nyata ketika hak dasar setiap warga terpenuhi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 24,06 juta orang. Turun 1,16 juta dibanding Maret 2024 dan 1,84 juta dibanding Maret 2023, angka ini tetap menegaskan bahwa hampir satu dari sepuluh warga hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar berada di perdesaan (13,01 juta orang atau 11,34%), sementara perkotaan mencatat 11,05 juta orang (6,66%). Provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Jawa Timur (3,876 juta), Jawa Barat (3,654 juta), dan Jawa Tengah (3,366 juta). Garis kemiskinan nasional saat ini Rp 595.242 per kapita per bulan, dengan 74,5% dialokasikan untuk pangan.
Akses pendidikan masih menjadi persoalan mendasar. Sekitar 29.830 desa dan kelurahan tidak memiliki PAUD, 302 kecamatan tidak memiliki SMP, dan 727 kecamatan tidak memiliki SMA atau SMK. Selain itu, 10,03% satuan pendidikan tidak memiliki akses internet, 1,21% tidak memiliki listrik. Kualitas guru masih rendah, metode pengajaran ketinggalan zaman, biaya pendidikan tinggi, dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan belum merata. Pemerintah sudah berupaya meningkatkan infrastruktur, kualitas guru, dan akses teknologi, tetapi pekerjaan rumah masih besar.
Sektor kesehatan menghadapi tantangan serupa. Penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan kanker meningkat. Penyakit menular, stunting, dan gizi buruk masih menghantui daerah miskin. Disparitas layanan kesehatan antara kota dan desa serta kekurangan tenaga kesehatan memperparah masalah. Upaya pemerintah melalui JKN, pembangunan fasilitas kesehatan, kampanye hidup sehat, dan telemedicine sedang dijalankan, namun belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai purnawirawan TNI, saya melihat janji kemerdekaan kadang hanya simbolik. Program sosial terhambat birokrasi, harga pangan rentan fluktuasi, dan pembangunan belum merata. Merdeka sejati berarti rakyat tidak takut pada hari esok—anak-anak tidak kelaparan, keluarga mampu memenuhi kebutuhan dasar, dan keadilan sosial terasa nyata.
Harapan besar tertuju pada kepemimpinan yang menempatkan rakyat sebagai prioritas. Orang-orang pro-rakyat harus berada di posisi strategis agar kebijakan berpihak pada mayoritas, bukan elite atau kelompok tertentu. Bangsa yang besar bukan sekadar soal angka pertumbuhan atau simbol kenegaraan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memastikan kemerdekaan dirasakan: pendidikan merata, pangan cukup, layanan kesehatan layak, dan keadilan sosial tercapai.
Merdeka berarti rakyat merdeka. Bukan sekadar negara merdeka.