Bangun Sinergi Wilayah, Babinsa Pelayangan Intensifkan Komsos di Arab Melayu Babinsa Pasar Beri Pembinaan, Cegah Kenakalan Remaja di Beringin Babinsa Dampingi Safari Lurah Baru Tambak Sari, Jalin Kedekatan dengan Warga dan Pengusaha Lokal Gencarkan Komsos, Babinsa Pematang Lima Suku Gaungkan Sinergi untuk Keamanan Warga Babinsa Telanaipura Tekankan Sinergi dan Kewaspadaan di Rumah Dinas Wali Kota Jambi

Home / Artikel / Politik

Minggu, 1 Desember 2024 - 18:03 WIB

Politik Uang: Ancaman Demokrasi di Pilkada Serentak 2024

Oleh: Letkol (Purn) Firdaus

PILKADA Serentak 2024 yang dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 baru saja selesai, namun tantangan besar yang mengancam kualitas demokrasi masih terus menghantui proses pemilihan. Di balik harapan besar untuk memilih pemimpin yang adil dan berintegritas, terdapat ancaman serius yang tidak dapat diabaikan, yaitu politik uang. Praktik ini telah menjadi masalah yang tak kunjung hilang, bahkan semakin berkembang dengan kemajuan teknologi, mempengaruhi jalannya pemilu secara tidak sah dan merusak esensi demokrasi itu sendiri.

Apa Itu Politik Uang?

Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), politik uang adalah pemberian atau janji berupa uang atau barang kepada seseorang agar ia memberikan suaranya atau memilih kandidat tertentu. Praktik ini terjadi karena adanya tujuan untuk memenangkan kontestasi secara tidak adil. Dalam politik uang, pemberian bisa berupa uang tunai, sembako, hingga barang elektronik. Banyaknya jenis pemberian ini menandakan betapa luasnya skala politik uang yang dapat merusak kualitas pemilu.

Politik uang bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan, ini telah menjadi praktik yang banyak dilakukan oleh tim kampanye, anggota partai politik, atau relawan dengan tujuan memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Hal ini jelas melanggar asas pemilu yang seharusnya menjamin kebebasan pemilih untuk menentukan pilihan tanpa tekanan atau iming-iming materiil. Praktik politik uang telah dicatat dalam undang-undang sebagai pelanggaran serius. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Pasal 73 Ayat (3), pelaku pemberi maupun penerima suap dapat dikenakan hukuman penjara hingga tiga tahun. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 187A, dikenakan denda minimal Rp200 juta hingga maksimal Rp1 miliar bagi pelaku.

Namun, dampak dari praktik politik uang jauh lebih besar dari sekedar sanksi hukum. Ketika seorang calon pemimpin terpilih melalui cara yang tidak sah ini, ia berpotensi menjadi pemimpin yang tidak kompeten dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.

Baca :  Pentingnya Peranan Medsos Di Era Digitalisasi

Modus Politik Uang di Pilkada 2024

Seiring dengan perkembangan teknologi, praktik politik uang kini semakin beragam. Salah satu metode baru yang patut diwaspadai adalah penggunaan layanan keuangan digital, seperti fintech, untuk mentransfer uang kepada calon pemilih. Hal ini sering kali sulit dilacak dan sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ratna Dewi Pettalolo, dalam Rapat Koordinasi Lintas Sektoral pada Juli 2024, menegaskan bahwa politik uang berbasis digital meningkatkan risiko konflik antara peserta Pilkada dan penyelenggara.

Tidak hanya itu, metode ini juga melibatkan pihak-pihak yang seharusnya netral, seperti ketua RT/RW, tetangga, atau organisasi masyarakat. Dengan keterlibatan banyak pihak yang sulit diidentifikasi, praktik politik uang berbasis digital semakin sulit untuk diberantas. Hal ini semakin menambah tantangan bagi penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum dalam menjaga integritas Pilkada.

Fenomena Politik Uang dan Harapan Masyarakat dalam Pemilu

Praktik politik uang tidak hanya melibatkan para calon pemimpin dan tim kampanye, tetapi juga melibatkan masyarakat yang seringkali mengharapkan “imbalan” dari calon pemimpin yang mereka pilih. Fenomena ini sangat umum terjadi di Indonesia, terutama menjelang pemilu, baik itu pemilu legislatif, presiden, maupun Pilkada serentak. Banyak masyarakat yang memandang pemilu sebagai momen “panen” bantuan, baik berupa uang atau sembako, daripada sebagai proses memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Harapan masyarakat untuk mendapatkan “bantuan” ini sering kali menjadi faktor penentu pilihan mereka di bilik suara. Calon yang memberikan bantuan materiil dianggap lebih layak dipilih. Fenomena ini mengindikasikan adanya budaya politik transaksional yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Alih-alih memilih berdasarkan visi, misi, dan program kerja calon, banyak masyarakat yang terjebak dalam budaya politik yang tidak sehat ini.

Baca :  Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum: Kajian Akademisi Australia soal Hercules dan Demokrasi Bayangan di Indonesia

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa masyarakat masih mengharapkan politik uang dalam pemilu, antara lain:

1. Kondisi Ekonomi

Banyak masyarakat yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Bantuan berupa uang atau sembako dari calon pemimpin menjadi daya tarik yang besar. Dalam situasi ini, kebutuhan mendesak sering kali mengalahkan pertimbangan rasional dalam memilih pemimpin. Masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi cenderung lebih mengutamakan bantuan sesaat daripada mempertimbangkan kualitas pemimpin jangka panjang.

2. Kurangnya Pendidikan Politik

Sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memahami arti pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kualitas, integritas, dan visi misi yang dapat membawa perubahan untuk kemajuan bangsa. Pemilu seringkali dipandang sebagai ajang untuk mendapatkan bantuan materiil daripada sebagai mekanisme untuk menentukan masa depan bangsa. Pendidikan politik yang minim membuat masyarakat mudah terjebak dalam budaya politik uang.

3. Budaya Politik yang Sudah Mengakar

Politik uang sudah menjadi kebiasaan yang lama di Indonesia. Praktik ini telah berlangsung cukup lama sehingga sulit untuk dihilangkan. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan merasa tidak wajar jika tidak ada pemberian materiil dari para kontestan. Budaya ini semakin mengakar karena banyak masyarakat yang sudah terbiasa dengan praktik ini dan menganggapnya sebagai bagian dari tradisi dalam pemilu.

Dampak Negatif bagi Demokrasi

Politik uang memiliki dampak yang sangat merugikan bagi demokrasi Indonesia. Selain mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang juga menciptakan siklus buruk yang berujung pada kerugian jangka panjang bagi rakyat. Pemimpin yang terpilih melalui cara ini cenderung lebih bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang membiayai kampanye mereka daripada kepada rakyat. Kebijakan yang diambil pun sering kali tidak berpihak pada kepentingan umum, melainkan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Baca :  Sombong Itu Warisan Iblis, Rendah Hati Itu Jalan Nabi

Selain itu, politik uang juga memperburuk kualitas pemilu, membuat proses demokrasi menjadi tidak adil dan tidak transparan. Hal ini pada akhirnya akan merusak kepercayaan rakyat terhadap sistem politik dan pemilu di Indonesia.

Harapan untuk Masa Depan

Untuk mengatasi fenomena politik uang, diperlukan langkah-langkah konkret, di antaranya:

1. Peningkatan Pendidikan Politik

Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan berdasarkan pemberian materiil. Pendidikan politik yang baik akan membuat masyarakat lebih sadar akan tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin yang tepat dan dapat membawa kemajuan bagi negara.

2. Penegakan Hukum yang Tegas

Aparat penegak hukum dan penyelenggara pemilu harus berani menindak tegas setiap praktik politik uang. Setiap pelaku, baik pemberi maupun penerima, harus diberi sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas, praktik ini dapat dikurangi.

3. Perubahan Pola Pikir

Semua pihak, termasuk tokoh agama, tokoh masyarakat, dan organisasi, perlu terlibat dalam membangun kesadaran bahwa politik uang merugikan bangsa dalam jangka panjang. Perubahan pola pikir ini harus dimulai dari tingkat individu hingga masyarakat luas, dengan menyadari bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan integritas dalam memilih pemimpin.

Kesimpulan

Politik uang adalah ancaman nyata bagi demokrasi di Indonesia. Fenomena harapan masyarakat terhadap uang atau sembako dari kontestan pemilu merupakan refleksi dari tantangan besar yang harus dihadapi dalam menjaga kualitas pemilu. Dengan upaya bersama untuk mengedukasi masyarakat, menegakkan hukum secara tegas, dan mengubah pola pikir yang sudah mengakar, diharapkan pada Pilpres, Pileg dan Pilkada Serentak 2029 yang akan datang dapat berjalan lebih jujur, adil, dan bermartabat. Memilih pemimpin yang berintegritas adalah langkah pertama untuk menuju Indonesia yang lebih baik, demokratis, dan sejahtera. (**)

Share :

Baca Juga

Politik

Hasil Survei LSI: Budi Setiawan Naik Pesat sebagai Calon Wali Kota Jambi

Artikel

Puasa dan Ketajaman Fokus serta Intuisi: Rahasia Pencerahan Para Nabi dan Ilmuwan

Politik

Disambut Hangat Partai Kaesang, PSI Jambi Beri Sinyal Dukung Budi Setiawan di Pilwako Jambi 2024

Artikel

Sekolah Rakyat: Jalan Baru Menuju Harapan Anak Bangsa

Artikel

KRISIS REKLAMASI SURABAYA: PROYEK WATERFRONT LAND DAN ANCAMAN TERHADAP MASYARAKAT PESISIR

Politik

Langkah Budi Setiawan Kian Mantap Menatap Pilwako Jambi 2024

Artikel

Satgas TMMD Rehabilitasi Madrasah di Desa Teluk Kuali, Bantu Akses Pendidikan Berkualitas

Artikel

Menjaga Prinsip Kebersamaan dalam Pemilihan Ketua PPAD Provinsi Jambi