Oleh Letkol (Purn) Firdaus
OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan. Seorang wakil menteri tertangkap menerima suap. Publik heboh, media ramai, dan linimasa penuh komentar sinis. Sayangnya, berita seperti ini bukan lagi kejutan, melainkan pengulangan yang terus berulang: pejabat ditangkap, diborgol, dipajang ke publik, lalu masuk penjara. Sementara itu, akar korupsi tetap dibiarkan tumbuh. OTT hanya menebang batang, bukan mencabut akar.
Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa korupsi di negeri ini tak pernah surut, meski puluhan tahun perang melawannya telah dikumandangkan? Jawabannya sederhana tapi menyakitkan: pemberantasan korupsi kita masih berkutat pada penindakan, bukan pencegahan. Dramatisasi OTT memang memuaskan dahaga publik, tetapi tidak pernah menyentuh sumber masalah. Korupsi ibarat rumput liar: dipotong berkali-kali, ia tetap tumbuh karena akarnya dibiarkan.
Kasus Noel, wakil menteri yang ditangkap KPK karena pemerasan, menegaskan ironi itu. Skandal ini bukan sekadar noda pribadi, melainkan goresan pada citra kabinet sekaligus wajah Prabowo. Presiden ingin tampil sebagai pemimpin kuat dan bersih, tetapi ulah seorang pembantunya justru menghadirkan sarkasme politik. Publik melihatnya sebagai “wajah Prabowo” yang tercoreng, seolah-olah sebuah tamparan yang menyakitkan. Inilah paradoks kekuasaan: reputasi seorang kepala negara bisa runtuh bukan oleh lawan politik, melainkan oleh anak buahnya sendiri.
Ada banyak alasan mengapa korupsi begitu sulit diberantas. Sistem politik kita terlalu mahal. Biaya mencalonkan diri sebagai pejabat publik sangat tinggi. Akibatnya, begitu berkuasa, banyak pejabat merasa perlu “balik modal”. Birokrasi pun masih sarat celah. Meski digitalisasi layanan berjalan, praktik “uang pelicin” tetap dianggap biasa. Hukum juga tidak menimbulkan efek jera. Penjara bagi koruptor sering menyerupai rumah singgah nyaman, bahkan sebagian masih bisa mengendalikan bisnis dari balik jeruji. Lebih berbahaya lagi, budaya permisif membuat praktik korupsi kerap dianggap lumrah, dari gratifikasi kecil hingga permainan proyek raksasa.
Untuk menutup celah ini, langkah mendesak yang perlu dilakukan adalah memperkuat hukuman. Aset hasil korupsi harus disita total, koruptor dilarang kembali ke jabatan publik, dan fasilitas mewah di penjara dihentikan. Digitalisasi layanan publik juga harus diperluas agar pungli dapat diminimalkan, sementara pengawasan dana politik diperketat untuk menghentikan praktik politik uang yang menjadi hulu korupsi. Namun, langkah-langkah jangka pendek saja tidak cukup. Kita butuh perubahan yang lebih mendasar: reformasi politik agar biaya demokrasi tidak lagi mencekik, revolusi birokrasi berbasis merit system, pendidikan integritas sejak dini, dan terutama keteladanan pemimpin. Jika elite bersih, bawahan akan segan untuk bermain kotor.
Perang melawan korupsi tidak boleh berhenti di ruang sidang KPK atau sekadar menjadi tontonan di televisi. Ia harus menjelma sebagai gerakan kolektif bangsa. Tanpa kesadaran bersama, korupsi akan terus menjadi penyakit kronis yang melumpuhkan pembangunan dan merampas masa depan generasi mendatang. Jika kita hanya puas dengan drama OTT, jangan heran bila suatu hari korupsi tak lagi dianggap aib, melainkan rutinitas politik yang biasa. Korupsi hanya akan berhenti tumbuh jika kita berani mencabut akarnya.**