Baramuda 08 Indonesia Siap Implementasikan Nilai-Nilai Pancasila di Sekolah Secara Masif dan Merata Raini Illisa Rahmadi, Bintang Cilik Jambi yang Menenun Prestasi dengan Cinta Budaya Wujudkan Kemandirian Ekonomi, Dandim 0416/Bute Dorong Percepatan Pembangunan Koperasi Merah Putih Babinsa Koramil Sebapo Jalin Keakraban Lewat Komsos, Dukung Warga Bangun Rumah Babinsa dan Bhabinkamtibmas Perkuat Sinergi Tiga Pilar, Wujudkan Desa Kuap Aman dan Kondusif

Home / Artikel

Senin, 28 Juli 2025 - 16:08 WIB

Ilusi Perwakilan Rakyat: Membongkar Realitas Legislasi di DPR RI

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla. 

Pendahuluan

Banyak masyarakat yang berasumsi bahwa dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seseorang memiliki kekuasaan penuh untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui pembentukan undang-undang. Namun, realitas politik dan mekanisme kelembagaan menunjukkan sebaliknya. Tulisan dari seorang mantan anggota DPR-RI mengungkapkan bagaimana sistem yang berlaku saat ini telah mematikan idealisme wakil rakyat sejak awal proses legislasi.

Tahapan yang Membungkam Idealisme

Tulisan ini memaparkan secara rinci bagaimana seorang anggota DPR yang idealis harus menghadapi serangkaian hambatan struktural :

1. Restu Fraksi sebagai Syarat Mutlak

Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, seorang anggota DPR secara formal adalah representasi partai politik. Setiap inisiatif legislasi harus memperoleh restu fraksi. Tanpa persetujuan fraksi, usulan RUU akan gugur sebelum sempat dipertimbangkan. Lebih jauh, keberanian melawan keputusan partai dapat berujung pada PAW (Pergantian Antar Waktu), karena kursi anggota DPR secara hukum dianggap milik partai, bukan milik individu.

Baca :  DPW LDII Jambi Kobarkan Semangat 3K di Tanjab Barat: Karya, Kontribusi, dan Komunikasi untuk Negeri

2. Seleksi di Badan Legislasi (Baleg)

Apabila fraksi menyetujui, langkah berikutnya adalah menyampaikan usulan ke Badan Legislasi DPR (Baleg). Namun, proses penilaian tidak didasarkan pada urgensi bagi rakyat atau kebutuhan hukum nasional, melainkan pada kepentingan partai, kesesuaian dengan program fraksi, dan minimnya potensi konflik politik. Di tahap ini, banyak RUU rakyat sering kali gugur karena tidak sesuai dengan agenda politik partai.

3. Hambatan Masuk ke Prolegnas

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan daftar RUU prioritas yang akan dibahas dalam satu periode DPR. Tanpa masuk ke daftar ini, pembahasan RUU tidak dapat dilakukan. Ribuan naskah usulan sering kali hanya berakhir sebagai dokumen digital tanpa tindak lanjut karena gagal masuk Prolegnas.

4. Pembahasan di Komisi dan Panitia Kerja (Panja)

Baca :  PEPABRI: Jejak Juang yang Tak Pernah Purna

Jika berhasil masuk Prolegnas, pembahasan RUU dilanjutkan di tingkat komisi dan panitia kerja. Namun, pembahasan ini bukan arena idealisme, melainkan arena lobi, tarik-ulur kepentingan, dan revisi redaksional. Kepentingan sponsor, oligarki, dan investor kerap menjadi faktor penentu dalam menghapus atau menambahkan pasal tertentu.

5. Rapat Paripurna: Formalitas yang Sudah Diatur

Pada tahap akhir, meski seorang anggota DPR mempresentasikan RUU dengan argumentasi akademis, moral, dan pro-rakyat, hasil voting telah ditentukan sejak awal melalui instruksi fraksi. Keputusan kolektif bukanlah hasil deliberasi rasional, melainkan kepatuhan pada garis partai.

6. Minimnya Keterlibatan Publik

Proses legislasi berjalan tanpa partisipasi rakyat yang sesungguhnya. Akses publik terhadap dokumen resmi sangat terbatas, dan pembahasan dilakukan dengan bahasa hukum yang sulit dipahami masyarakat awam. Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi semu.

DPR dan MPR: Dari Perwakilan Rakyat ke Perwakilan Partai

Baca :  “Dak Biso Eloki, Jangan Ngerusak” — Menjaga Marwah PEPABRI dengan Jiwa Kesatria dan Semangat Kebangsaan

Tulisan ini mengkritik keras bagaimana DPR telah berubah fungsi menjadi Dewan Perwakilan Partai (DPP), dan MPR menjadi Majelis Permusyawaratan Partai (MPP). Kondisi ini terjadi akibat perubahan konstitusi pasca-reformasi yang menggeser orientasi lembaga legislatif dari kepentingan rakyat ke kepentingan partai.

Implikasi Demokrasi dan Reformasi Konstitusi

Situasi ini menunjukkan bahwa sistem politik Indonesia menghadapi krisis representasi. Pemilu hanya menjadi ritual legitimasi, sementara kebijakan publik tetap dikendalikan oleh elite partai dan kelompok kepentingan tertentu. Reformasi konstitusi yang memulihkan kembali peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi urgensi nasional.

Penutup

Tulisan ini tidak sekadar keluhan pribadi seorang mantan anggota DPR, tetapi menjadi refleksi kritis tentang rapuhnya demokrasi perwakilan di Indonesia. Ketika parlemen gagal menjadi institusi rakyat, maka gagasan untuk mengembalikan fungsi konstitusi sesuai amanat UUD 1945 yang asli harus menjadi agenda besar bangsa.

Wallahu’alam bissawaab…

Share :

Baca Juga

Artikel

Janji Para Raja dan Sultan Nusantara: Kedaulatan, Kekayaan Alam, dan Amanah Konstitusi UUD 1945 yang Diabaikan

Artikel

Ini Budi

Artikel

Pinokio Jawa: Malapetaka bagi Negeri, Beban bagi Rakyat

Artikel

BREAKING NEWS: PENJARAHAN HARTA KARUN SUNGAI BATANGHARI, WARISAN PERADABAN DUNIA TERANCAM PUNAH..!

Artikel

Rakyat Menggugat: Rentetan Blunder Pemerintahan Prabowo dan Ledakan Amarah Publik

Artikel

“Konflik Iran–Israel: Jalan Menuju Armageddon Dunia dan Kejatuhan Hegemoni Global”

Artikel

SKANDAL PEMAGARAN LAUT 30,16 KM DI TANGERANG: KEJAHATAN TERSTRUKTUR DAN PERAMPOKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT!

Artikel

Senja Solidaritas: Kisah Pengabdian Tak Berujung dalam Keluarga Besar Pepabri