Di sebuah kompleks perumahan yang asri dan tenang, Bapak Santoso—mantan Komisaris Polisi yang baru saja memasuki masa pensiun—tinggal di rumah pribadinya setelah bertahun-tahun hidup di rumah dinas yang megah. Dengan segala kebanggaan atas pangkat, kewenangan, dan prestasi yang diraihnya selama bertugas, Santoso kerap berjalan-jalan di taman kompleks setiap malam. Namun, sikapnya mencerminkan jarak yang ia ciptakan sendiri. Ia tidak pernah menyapa tetangganya, merasa bahwa statusnya membuatnya berbeda dan berada “di atas” mereka.
Pada suatu sore, ketika Santoso duduk di bangku taman, seorang pria tua yang ramah—Bapak Hadi—duduk di sampingnya dan memulai percakapan ringan. Namun, Santoso tidak begitu tertarik untuk mendengar. Sebaliknya, ia terus membicarakan dirinya sendiri: pangkatnya, kewenangannya, dan betapa ia memilih tinggal di kompleks itu karena memiliki properti tersebut, bukan karena kebutuhan.
Hari demi hari, rutinitas itu berulang. Santoso selalu berbicara mengenai kejayaannya di masa lalu, sementara Hadi hanya mendengarkan dengan tenang, tidak pernah menyela atau memberikan tanggapan yang berlebihan. Hingga pada suatu malam, suasana percakapan berubah.
Dengan nada yang lembut, Hadi berkata,
“Pak Santoso, tahukah Bapak bahwa bohlam listrik hanya bernilai ketika menyala? Setelah padam, tidak ada lagi bedanya apakah bohlam itu 10 watt atau 100 watt. Semuanya sama—sunyi, tak bernyawa, dan terlupakan. Saya sudah tinggal di sini selama lima tahun, dan belum pernah saya menceritakan kepada siapa pun bahwa saya pernah menjabat sebagai Anggota DPR selama dua periode.”
Ucapan itu membuat Santoso terdiam.
Hadi kemudian menunjuk beberapa orang di taman itu:
“Lihat pria yang duduk di pojok sana? Itu Pak Rahman, pensiunan Direktur Utama PT KAI. Yang berbincang dengan beliau adalah Pak Surya, mantan Letnan Jenderal TNI AD. Dan pria yang berjalan santai dengan pakaian putih itu Pak Prasetyo, mantan Kepala Lembaga Antariksa Nasional. Tak satu pun dari mereka merasa perlu membicarakan jabatan mereka di masa lalu. Mereka sadar, jabatan hanyalah sementara.”
Hadi melanjutkan dengan penuh kebijaksanaan:
“Jabatan dan posisi hanyalah atribut duniawi yang akan hilang seiring waktu. Jika kita membiarkan jabatan mendefinisikan diri kita, maka saat jabatan itu hilang, kita akan kehilangan arah. Sama halnya seperti permainan catur—raja, menteri, kuda, bahkan pion—semua dikembalikan ke kotak yang sama setelah permainan selesai. Tidak ada lagi perbedaan.”
Hadi kemudian tersenyum, menambahkan pesan yang menusuk kesadaran:
“Seberapa banyak pun medali, sertifikat, dan penghargaan yang kita kumpulkan semasa hidup, pada akhirnya, setiap manusia hanya menerima satu lembar terakhir: Sertifikat Kematian. Karena itu, jangan pernah berpegang teguh pada status yang sudah berlalu. Yang lebih penting adalah apa yang kita wariskan: kebaikan, keteladanan, dan makna hidup bagi orang lain.”
Kisah sederhana ini menjadi refleksi mendalam bagi para pejabat publik maupun siapa saja yang pernah memegang kekuasaan. Kekuasaan, jabatan, dan kehormatan hanyalah titipan sementara yang harus digunakan untuk mengabdi, bukan untuk disombongkan. Seorang pemimpin sejati akan dikenang bukan karena gelarnya, tetapi karena kerendahan hati, integritas, dan pengabdiannya bagi masyarakat.
Pelajaran ini mengingatkan kita semua, terutama para pemegang jabatan, agar menyadari bahwa masa kejayaan akan berlalu. Dunia akan selalu tunduk pada “matahari terbit”, bukan “matahari terbenam”. Kehormatan sejati bukanlah ketika orang lain menghormati kita karena jabatan, tetapi ketika mereka tetap menghargai kita meski jabatan itu telah tiada.
“Teori Bohlam Listrik” bukan sekadar kisah ringan, tetapi sebuah perenungan tajam tentang kefanaan kekuasaan, pentingnya kerendahan hati, serta arti sejati dari sebuah kehidupan yang bermanfaat.
Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.