Oleh: Jagat Taniwara
Pers di Indonesia dikenal sebagai pilar keempat demokrasi—penyambung lidah rakyat, pengawas kekuasaan, dan pencatat sejarah bangsa. Namun di balik peran krusial tersebut, tak sedikit media massa yang justru terperosok dalam kubangan pelanggaran kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penyimpangan ini bukan sekadar soal tata bahasa, melainkan juga mencerminkan lemahnya tanggung jawab budaya dan pendidikan dalam ruang publik.
Penyebaran yang Masif, Pembinaan yang Minim
Di era digital, produk jurnalistik tersebar dalam hitungan detik. Tapi ironisnya, seiring dengan derasnya arus informasi, mutu bahasa yang digunakan justru kian tergerus. Banyak media online yang mengabaikan kaidah EYD, mencampuradukkan ragam bahasa resmi dan tidak resmi, serta terjerumus pada gaya bahasa bombastis nan dangkal demi klik dan viralitas.
Salah satu contoh nyata adalah penggunaan judul berita sensasional yang melenceng dari isi, kalimat pasif yang berlebihan, dan istilah asing yang tidak diserap atau disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia. Sering pula ditemukan ketidaksesuaian struktur kalimat, ejaan yang keliru, serta pemakaian diksi yang tak tepat dalam menjelaskan isu krusial.
Media Sebagai Agen Pembudayaan Bahasa
Selayaknya lembaga pendidikan, media memiliki peran vital dalam pembinaan bahasa. Jika setiap hari masyarakat mengonsumsi bahasa dari media massa, maka apa yang mereka baca dan dengar akan menjadi acuan komunikasi sehari-hari. Bila yang tersaji adalah bahasa yang keliru, maka sesungguhnya media turut membentuk publik yang keliru pula dalam berbahasa.
Ini bukan soal idealisme linguistik semata. Bahasa adalah instrumen berpikir. Bahasa yang amburadul bisa menuntun pada cara berpikir yang juga kacau. Maka ketika media sebagai pembentuk opini publik menyajikan konten dengan bahasa yang asal-asalan, kita patut khawatir akan menurunnya mutu intelektual masyarakat secara kolektif.
Kebutuhan Mendesak: Redaktur Bahasa dan Etika Linguistik
Banyak perusahaan media—terutama online—yang tidak lagi mempekerjakan redaktur bahasa. Akibatnya, produk jurnalistik lolos tanpa penyuntingan linguistik. Ini tak hanya soal estetika, tapi juga soal etika dan tanggung jawab sosial. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pun sering kewalahan dalam mengedukasi media karena lemahnya regulasi dan kesadaran pelaku media.
Sudah saatnya pemerintah melalui Dewan Pers, bekerja sama dengan lembaga bahasa dan asosiasi jurnalis, mendorong lahirnya Standar Bahasa Jurnalistik Nasional. Pelatihan, sertifikasi, hingga audit mutu bahasa media perlu digalakkan agar produk jurnalistik tidak hanya informatif, tetapi juga mendidik dan mencerahkan.
Penutup: Merdeka dalam Bahasa, Bermartabat dalam Pers
Menjaga bahasa adalah menjaga peradaban. Dalam dunia pers, menjaga bahasa berarti menjaga kualitas demokrasi. Jika media ingin tetap dipercaya sebagai penuntun nurani publik, maka ia tak hanya wajib menyampaikan fakta dan kritik, tapi juga bertanggung jawab menyajikan bahasa yang sehat, jernih, dan membangun.
Merdeka dalam bersuara tidak berarti bebas merusak tatanan bahasa. Karena di balik setiap kalimat berita, terselip tanggung jawab kebangsaan.
Tentang Penulis
Jagat Taniwara adalah nama pena seorang Purnawirawan TNI Angkatan Darat yang pernah bertugas di Satuan Penerangan TNI AD. Ia meyakini bahwa perjuangan menjaga negeri tidak hanya lewat senjata, tetapi juga lewat pena, suara, dan keberanian menyampaikan kebenaran. Kini ia aktif menulis opini dan kritik konstruktif demi menjaga marwah demokrasi dan kebangsaan.