PAC LDII Tambaksari Gelar Pengajian Rutin Malam Jum’at Brigjen TNI Rikas Hidayatullah Serahkan Pasukan kepada Danrem 043/Gatam yang Baru Brigjen TNI Haryantana Dari Chat Jadi Cakap: Grup ‘Setia’ Kumpul Bareng di Jambi Kodim 0416/Bute Lepas 13 Prajurit Terbaik ke Yonif TP 844/Ksatria Batanghari Dandim 0416/Bute Hadiri Kunker Gubernur Jambi di Tanah Seentak Galah Serengkuh Dayung

Home / Artikel

Rabu, 19 Maret 2025 - 04:31 WIB

Dampak Dekotomi Militer dan Sipil di Indonesia: Antara Reformasi dan Kehilangan Keseimbangan Bernegara

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla

1. Latar Belakang Dekotomi Militer dan Sipil

Dekotomi antara militer dan sipil telah menjadi isu sentral dalam dinamika politik Indonesia pasca-Reformasi 1998. Tuntutan masyarakat sipil untuk membatasi peran militer dalam kehidupan sosial dan politik menjadi landasan utama perubahan besar dalam struktur kenegaraan.

Sebelum reformasi, terutama pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, militer—terutama TNI Angkatan Darat—memegang peran dominan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Dwi Fungsi ABRI saat itu menempatkan ABRI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan, tetapi juga memiliki peran strategis dalam pemerintahan dan pembangunan.

Namun, dominasi ini menimbulkan resistensi dari masyarakat sipil yang menilai militer terlalu overconfident dan melampaui batas kewenangannya. Akumulasi ketidakpuasan ini berpuncak pada Reformasi 1998, di mana ABRI menjadi salah satu simbol kekuasaan yang harus direformasi.

2. Reformasi 1998 dan Pemisahan TNI-Polri

Gelombang reformasi yang menggulingkan Soeharto juga menyeret ABRI ke dalam arus perubahan. Muncul kebijakan untuk memisahkan TNI dan Polri, menghapus peran politik militer, serta menghilangkan Fraksi ABRI di parlemen.

Pada saat itu, amarah publik terhadap aparat negara mencapai puncaknya. Banyak anggota TNI dan Polri menjadi sasaran kekerasan massa di berbagai daerah. Di Jakarta, personel militer dan polisi mengalami penganiayaan fisik sebagai bentuk pelampiasan dendam masyarakat. Namun, TNI Angkatan Laut masih mendapat kepercayaan dari rakyat dan mampu meredam situasi yang semakin memanas.

Baca :  TNI Bangun Jalan Desa dalam Program TMMD

Dari peristiwa ini, lahirlah kebijakan pemisahan institusi pertahanan dan keamanan, yang bertujuan untuk memperkuat demokrasi serta menegakkan supremasi sipil.

3. Pemisahan TNI dan Polri

Pemisahan ini didasarkan pada beberapa regulasi utama, antara lain:

Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang menegaskan bahwa TNI bertanggung jawab atas pertahanan negara, sedangkan Polri mengemban tugas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, yang menegaskan bahwa TNI tidak lagi berwenang menangani keamanan dalam negeri.

4. Pembatasan Peran Politik TNI dan Penghapusan Fraksi ABRI di DPR/MPR

Untuk memperkuat reformasi, pemerintah juga menerbitkan beberapa undang-undang yang mempersempit peran TNI di ranah politik, di antaranya:

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang mewajibkan netralitas TNI dalam politik dan melarang keterlibatan dalam kegiatan politik praktis.

UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang menghapuskan Fraksi ABRI di parlemen, menghilangkan keterwakilan TNI/Polri dalam DPR dan MPR.

Baca :  Serka Sukur Pimpin Apel Pagi TMMD ke-124, Fokuskan Sasaran Fisik di Desa Kemuning

Dengan berbagai regulasi ini, TNI resmi kehilangan peran politiknya yang selama ini dianggap sebagai kekuatan penyeimbang dalam sistem pemerintahan.

5. Reformasi Kebablasan dan Lemahnya Keseimbangan Negara

Setelah lebih dari dua dekade reformasi, kita kini dihadapkan pada realitas bahwa negara mengalami ketimpangan yang semakin parah. Demokrasi yang diidamkan ternyata menjadi ajang oligarki dan dominasi kepentingan asing.

Sumber daya alam yang dulu dikelola negara kini banyak jatuh ke tangan korporasi global dan elite ekonomi yang mengendalikan kebijakan nasional. Pada saat yang sama, peran TNI sebagai penyeimbang dan penjaga stabilitas negara semakin dipinggirkan.

Institusi lain yang seharusnya menjadi checks and balances justru tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi. Tidak heran jika muncul pertanyaan:

“Mengapa TNI diam saja ketika negara dalam kondisi carut-marut seperti ini?”

Jawabannya jelas: TNI telah dikebiri. Institusi yang dahulu kuat kini dibatasi dalam lingkup yang sempit.

6. Peran Positif TNI: Penjaga Kedaulatan dan Filter Pengaruh Asing

Meski dibatasi dalam politik, TNI tetap memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara. Sebagai institusi yang setia kepada bangsa dan negara, TNI harus tetap menjadi filter utama terhadap berbagai ancaman asing, baik dalam bentuk infiltrasi ideologi, ekonomi, maupun politik.

Baca :  Pentingnya Peranan Medsos Di Era Digitalisasi

Selain itu, TNI juga harus tetap menjadi motor penggerak semangat Bela Negara, mengingatkan rakyat akan pentingnya menjaga kedaulatan dari ancaman eksternal dan internal.

Reformasi memang perlu, tetapi bukan berarti peran strategis TNI harus dihilangkan sepenuhnya.

7. Jalan Keluar: Mengembalikan Keseimbangan Demi Masa Depan Bangsa

Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana mengembalikan keseimbangan yang telah hilang. Reformasi yang berjalan selama ini perlu dievaluasi ulang.

Demokrasi yang sehat bukan berarti menghilangkan seluruh peran militer, tetapi memastikan bahwa setiap elemen bangsa memiliki peran yang proporsional demi kepentingan nasional.

TNI tidak harus kembali seperti di era Orde Baru, tetapi juga tidak boleh dibiarkan menjadi pasukan yang hanya berada di barak tanpa kontribusi strategis bagi bangsa.

Jika tidak ada mekanisme yang memungkinkan TNI tetap menjadi penjaga kedaulatan tanpa terseret politik praktis, maka kita hanya tinggal menunggu waktu hingga negara ini benar-benar jatuh ke tangan asing.

Dan jika itu terjadi, jangan lagi bertanya: “Mengapa TNI diam saja?” Karena saat itu, semuanya mungkin sudah terlambat.**

Share :

Baca Juga

Artikel

Empat Pulau yang Diperebutkan: Ketika Negara Lupa pada Sejarah dan Keadilan

Artikel

“KEKUASAAN YANG SALING SANDERA: TIJI TIBEH (Mati Siji Mati Kabeh)”

Artikel

Pengamat Ungkap Sosok Budi Setiawan yang Humble Serta Punya Daya Juang Tinggi

Artikel

Media Massa Bagi Kepentingan Calon Kepala Daerah

Artikel

Gugatan Rp 612 Triliun! Jokowi, Aguan, dan Airlangga Dituding Langgar Hukum dalam Proyek PIK 2

Artikel

PENJELASAN ILMIAH BERDASARKAN TEORI HIDRO-OSEANOGRAFI

Artikel

UU TNI 2025 Bukan Dwifungsi Gaya Baru: Ini Penjelasan Lengkap dan Landasan Hukumnya

Artikel

Kebangkitan Nasional: Menyalakan Obor Perjuangan Menuju Indonesia Emas