Lampung – Di tengah gegap gempita pembangunan nasional yang digaungkan pemerintah pusat, ada suara lirih dari pelosok desa yang nyaris tak terdengar. Suara itu datang dari Desa Karya Jitu Mukti, Kecamatan Rawajitu Selatan, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung—sebuah desa agraris yang menjadi salah satu lumbung pangan namun masih terjerat persoalan klasik: jalan rusak dan infrastruktur dasar yang memprihatinkan.
Akses jalan utama yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan warga kini lebih menyerupai kubangan. Lubang-lubang besar dan genangan air menjadi pemandangan sehari-hari, memperlambat aktivitas ekonomi, pendidikan, hingga mobilitas warga.
“Di tahun 2025 ini, semestinya tidak ada lagi jalan rusak seperti ini. Ini jalan utama warga kami untuk ke sekolah, ke kebun, hingga membawa hasil pertanian. Kalau jalan ini bagus, ekonomi dan pendidikan pasti ikut maju,” keluh Endrianto, tokoh masyarakat sekaligus Kepala SDN 1 Karya Jitu Mukti, melalui pesan WhatsApp kepada media, Kamis (26/6).
Lebih dari sekadar keluhan, pernyataan Endrianto adalah jeritan harapan kolektif warga desa. Sosok yang dikenal tegas, jujur, dan peduli terhadap pendidikan itu tak hanya menyoroti jalan rusak, tetapi juga menuntut perbaikan tanggul dan pintu air yang vital untuk irigasi dan pencegahan banjir.
Menurutnya, kerusakan infrastruktur pengairan berdampak langsung terhadap hasil pertanian warga. Jika tak segera ditangani, potensi kerugian pertanian akan semakin besar, memperparah kondisi ekonomi masyarakat yang sudah terdampak.
Endrianto pun menyampaikan aspirasi warga kepada Kepala Desa Supardi, Camat Rawajitu Selatan Romli, Bupati Tulang Bawang Qudrotul Ikhwan, jajaran DPRD Kabupaten dan Provinsi, Gubernur Lampung, hingga Presiden Prabowo Subianto. Ia berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi ini.
“Warga tidak minta yang muluk-muluk. Cukup jalan kami diperbaiki dan diaspal. Itu sudah sangat membantu kehidupan kami sehari-hari,” ujarnya lugas.
Desa Karya Jitu Mukti hanyalah satu potret kecil dari ribuan desa di Indonesia yang masih menanti keadilan pembangunan. Mereka bukan anti kemajuan, bukan pula apatis terhadap kebijakan. Mereka hanya ingin merasakan kehadiran negara—bukan sekadar dalam pidato, tetapi nyata di jalan-jalan desa yang kini hancur, di tanggul yang jebol, dan di ladang-ladang yang kekeringan.
Jika pembangunan hanya mengalir di kota dan pusat pemerintahan, maka ketimpangan akan menjadi luka abadi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kini, bola ada di tangan para pemangku kebijakan. Akankah suara dari pelosok Lampung ini dijawab dengan tindakan nyata?
Penulis: M. Rosyid
Editor: Jagat Taniwara54