Restrukturisasi TNI, Presiden Prabowo Lantik Enam Panglima Kodam Baru dan Wakil Panglima TNI ATOM: Viralitas yang Mengguncang Peta Politik Indonesia Menuju Pilpres 2029 Pengurus Baru IDFJ Periode 2025–2027 Resmi Dilantik Semarak HUT RI ke-80, PWI Jambi Angkat Domino Jadi Ajang Persaudaraan Wartawan Kolonel Purn Ade Sugiarto Didapuk Ketua Panitia HUT ke-66 Pepabri Jambi

Home / Artikel

Rabu, 25 Juni 2025 - 07:00 WIB

Perang Bukan Milik Kita, Tapi Dampaknya Nyata: Strategi Indonesia di Era Krisis Global

“Dalam perang orang lain, jangan biarkan rakyat kita yang jadi korban.”

Ketegangan militer antara Iran dan Israel semakin menyeret kekuatan global ke dalam pusaran konflik. Amerika Serikat sudah mengerahkan armada tambahan ke Mediterania Timur, sementara kelompok milisi di Lebanon, Yaman, dan Irak mulai terlibat dalam serangan balasan terhadap posisi-posisi pro-Barat. Di tengah bayang-bayang eskalasi yang mengancam stabilitas kawasan dan pasokan energi dunia, Indonesia menghadapi dilema klasik: ikut bicara atau diam menjaga jarak?

Namun bagi negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini, netralitas bukanlah pilihan pasif — justru sebuah strategi aktif yang berakar kuat dalam konstitusi dan kepentingan nasional.

Politik Luar Negeri Bebas Aktif Bukan Sekadar Retorika

Alih-alih latah mengecam satu pihak tanpa kalkulasi matang, para pengamat menyarankan Indonesia tetap teguh pada prinsip politik luar negeri bebas aktif. “Kecaman sepihak bisa kontraproduktif,” kata Prof. Dinna Wisnu, pengamat hubungan internasional dari Paramadina. “Justru Indonesia berpeluang menjadi penjembatan komunikasi antarblok jika mampu menjaga kredibilitasnya.”

Baca :  Ilusi Perwakilan Rakyat: Membongkar Realitas Legislasi di DPR RI

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Geopolitical Institute (IGI), Rizal Marpaung. “Jika kita terseret dalam polarisasi Timur–Barat, konsekuensinya bisa langsung terasa pada APBN, ketahanan pangan, bahkan stabilitas politik domestik.”

Harga Minyak Bisa Tembus USD 150 per Barel, Indonesia Kena Imbas?

Sejak awal Juni 2025, harga minyak mentah dunia menunjukkan tren naik, bahkan sempat menyentuh USD 113 per barel setelah muncul ancaman penutupan Selat Hormuz — jalur vital 20% distribusi minyak global.

Mengingat Indonesia adalah net-importer energi dengan lebih dari 60% BBM dalam negeri berasal dari impor, potensi lonjakan harga ini menjadi mimpi buruk fiskal. Data Kementerian ESDM mencatat, lonjakan USD 10 per barel akan menambah beban subsidi energi hingga Rp 65 triliun per tahun.

“Jika minyak menyentuh USD 150–200, kita akan menghadapi tekanan inflasi, kelangkaan solar industri, dan gelombang PHK di sektor logistik,” ungkap ekonom senior INDEF, Eko Listiyanto.

Baca :  Bedeng Tiga Pintu di Jelutung Ludes Terbakar, Babinsa Sigap Bantu Pemadaman

Rekomendasi kebijakan:

Percepat pembangunan Strategic Petroleum Reserve (SPR)

Genjot biofuel dan mobil listrik

Diversifikasi impor dari Afrika dan Amerika Selatan

Ketahanan Pangan dalam Ancaman: Impor Beras Bisa Macet

Di sisi pangan, ancaman tak kalah nyata. Impor beras dari Thailand dan Vietnam yang menyuplai 30–40% kebutuhan nasional bisa terganggu jika harga logistik melonjak dan negara pengekspor memberlakukan embargo demi kebutuhan dalam negeri.

Direktur Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, menyebutkan saat ini cadangan beras pemerintah berada di angka 1,2 juta ton — cukup untuk 2 bulan. Namun, ia mengingatkan pentingnya diversifikasi pasokan pangan.

“Kita perlu membangun cadangan pangan strategis hingga 2 juta ton dan menjajaki mitra baru seperti Pakistan, Nigeria, dan Suriname,” katanya kepada media ini.

Netral Bukan Berarti Tak Bertindak

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menegaskan, sikap Indonesia tidak bisa hanya bersandar pada moralitas semata. “Prinsip keadilan penting, tapi tanpa kalkulasi geopolitik dan ekonomi, kita justru bisa merugikan kepentingan rakyat sendiri,” ujarnya.

Baca :  Babinsa Hadiri Musdes Ketahanan Pangan, Dorong Desa Jelutih Wujudkan Swasembada dan Dukung Program MBG

Indonesia memiliki peluang untuk menjadi penengah yang dipercaya, sebagaimana peran yang pernah dimainkan dalam konflik Vietnam, Rohingya, hingga Afghanistan. Dengan tetap menjaga jarak dari blok militer mana pun, Indonesia bisa mendorong diplomasi kemanusiaan melalui ASEAN atau kerja sama G20.

Sintesis: Tiga Prinsip Kunci untuk Indonesia

1. Ketahanan nasional adalah prioritas absolut.

2. Kepentingan rakyat menjadi kompas utama kebijakan luar negeri.

3. Kebijakan harus berbasis data, bukan emosi politik global.

Penutup

Di tengah gempuran informasi, tekanan internasional, dan euforia polarisasi ideologis, Indonesia perlu bersikap tenang namun tegas. Tidak perlu bereaksi keras untuk menunjukkan keberpihakan. Justru, dalam sikap yang matang dan terukur, Indonesia bisa memainkan peran besar: sebagai penjaga perdamaian, bukan pion perang. (Jt)

Penulis: Jagat Taniwara54| 25 Juni 2025

Kategori: Geopolitik & Ketahanan Nasional

Share :

Baca Juga

Artikel

Pengamat Militer Khairul Fahmi : Kejanggalan Dibalik Drama Penyanderaan Pilot Susi Air

Artikel

Pinokio Jawa: Malapetaka bagi Negeri, Beban bagi Rakyat

Artikel

Kopi sebagai Sumber Inspirasi dan Simbol Kreativitas di Era Digital

Artikel

SKANDAL PEMAGARAN LAUT 30,16 KM DI TANGERANG: KEJAHATAN TERSTRUKTUR DAN PERAMPOKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT!

Artikel

“Pariwisata Sumatera Utara dan Peranan Pers” Antara Promosi dan Kritik

Artikel

Reuni Akmil 1989 di Pussenif Bandung: Merajut Kebersamaan dan Memperkuat Silaturahmi

Artikel

Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum: Kajian Akademisi Australia soal Hercules dan Demokrasi Bayangan di Indonesia

Artikel

Dirgahayu TNI ke-79: Transformasi Menuju Kekuatan Modern dan Penjaga Stabilitas Nasional