Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Indonesia sebagai negara maritim yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan bagi masyarakat pesisir justru dihadapkan pada kenyataan pahit: laut yang seharusnya menjadi ruang hidup nelayan malah dikapling oleh kekuatan oligarki yang bersembunyi di balik proyek nasional. Fakta bahwa pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Pantai Utara Tangerang, Banten, telah bersertifikat dan memblokir 16 kecamatan menjadi bukti nyata pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat dan prinsip Bela Negara.
Keberanian Pasukan Marinir TNI AL di bawah komando Brigjen Marinir Harry Indarto dalam menyegel dan membongkar pagar laut ilegal ini menjadi secercah harapan bagi rakyat. Namun, di sisi lain, permintaan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk menangguhkan pembongkaran pagar laut ini justru *mengundang kecurigaan besar. Permintaan tersebut seakan menjadi sinyal perlindungan terhadap kepentingan oligarki yang menindas rakyat, bukan keberpihakan kepada nelayan yang selama ini menjadi garda terdepan dalam mempertahankan perairan Indonesia.
Lebih ironis lagi, unjuk rasa besar-besaran masyarakat yang menolak pemagaran laut ini, yang memuncak pada 8 Januari 2025, bahkan sempat dihadang oleh kelompok-kelompok tertentu. Hal ini memperlihatkan bagaimana kepentingan gelap mencoba meredam suara rakyat yang menuntut keadilan. Seharusnya, pemerintah bertindak sebagai penegak hukum dan pelindung rakyat, bukan justru menjadi fasilitator bagi proyek yang merampas hak hidup nelayan.
Kejahatan yang Berlapis dan Pengkhianatan Bela Negara
Pemagaran laut ini jelas melanggar berbagai undang-undang dan regulasi nasional maupun internasional. Beberapa dasar hukum yang dilanggar antara lain :
1. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Fakta bahwa laut yang merupakan milik bersama bisa “disertifikatkan” kepada pihak swasta jelas bertentangan dengan amanat konstitusi.
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 16:
“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak dapat dimiliki secara pribadi dan harus tetap menjadi bagian dari ruang publik.”
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010:
Keputusan MK ini menegaskan bahwa laut tidak bisa diprivatisasi atau dimiliki oleh pihak tertentu melalui sertifikat hak milik.
4. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982:
Indonesia sebagai negara pihak dalam UNCLOS wajib menjaga akses laut sebagai kepentingan publik, bukan malah memperjualbelikannya kepada korporasi.
Ombudsman RI, melalui pernyataannya pada 9 Januari 2025,juga menegaskan bahwa pemagaran laut sepanjang 30,16 km ini berpotensi kuat sebagai bentuk malpraktik dan penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Bahkan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam konferensi persnya pada 21 Januari 2025, mengakui telah ditemukan 280 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan SHM yang dikeluarkan secara ilegal. Fakta ini memperlihatkan betapa sistematisnya penguasaan laut oleh oligarki dengan dalih proyek nasional.
Maka dari itu, siapapun pejabat yang terlibat dalam penerbitan sertifikat ini telah melakukan pelanggaran berat dan wajib diadili..!
Semangat Bela Negara VS Pengkhianat Bela Negara
Kasus ini adalah ujian nyata bagi semangat “Bela Negara”. Mereka yang berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, seperti *TNI AL, aktivis lingkungan, serta nelayan yang berjuang mempertahankan haknya, adalah pahlawan sejati dalam Bela Negara.
Sebaliknya, mereka yang terlibat dalam proyek ilegal ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berupaya mengamankan kepentingan oligarki, dan yang berusaha mengaburkan kejahatan ini, adalah PENGKHIANAT BELA NEGARA..!
Mereka yang mendukung dan menutupi pelanggaran ini telah :
• Mengkhianati amanat konstitusi
• Menjual kedaulatan negara kepada oligarki
• Mengorbankan kesejahteraan rakyat demi kepentingan segelintir elit
Jika Bung Tomo di Surabaya pada 10 November 1945 memekikkan “Merdeka atau Mati”, maka dalam konteks hari ini, seruan itu harus dihidupkan kembali:
“Laut adalah milik rakyat! Oligarki harus dilawan!”
Pemerintah harus segera mengusut tuntas siapa dalang di balik proyek pemagaran laut ini. Siapa pemilik proyek, siapa pejabat yang memberikan izin, siapa yang meneken sertifikat, dan siapa yang mendanainya!
Sejarah akan mencatat : mereka yang berdiam diri dalam ketidakadilan adalah bagian dari pengkhianatan itu sendiri.**
Jakarta, 23 Januari 2025