Ketua DPD Pepabri Jambi Tegaskan Pentingnya Menghargai Jasa Veteran dalam Peringatan HARVETNAS Ketua DPD Pepabri Jambi: Kami Hadir untuk Menghidupkan Api Perjuangan Langkah Bersama TNI di Batulelleng: Jalan Baru untuk Harapan Baru Danrem 042/Gapu dan Komisi I DPR RI Bahas Strategi Pertahanan dan Pembangunan Jambi Cegah Api Sebelum Muncul, Danrem 042/Gapu Pimpin Pemberangkatan Satgas Karhutla Jambi

Home / Artikel

Kamis, 8 Mei 2025 - 22:05 WIB

Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum: Kajian Akademisi Australia soal Hercules dan Demokrasi Bayangan di Indonesia

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla

Di balik sosok keras Hercules Rosario Marshall, seorang figur jalanan yang kerap dikaitkan dengan kekuasaan dan kontroversi, terdapat refleksi mendalam tentang absennya negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya: melindungi rakyat, menegakkan hukum, dan menjamin keadilan sosial. Pandangan tajam ini datang dari Ian Douglas Wilson, akademisi asal Australia yang meneliti secara mendalam dinamika kekuasaan informal di Indonesia pasca-Orde Baru.

Dalam bukunya “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia” (Politik Jatah Preman), Wilson menempatkan Hercules bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai simptom struktural dari negara yang gagal hadir. Ketika hukum tak lagi menyentuh lorong-lorong gelap kehidupan sosial, dan ketika negara tidak lagi mampu menciptakan ketertiban yang adil, maka kekuatan informal mengambil alih. Dalam ruang kosong itulah, tokoh-tokoh seperti Hercules tumbuh bukan hanya sebagai pelaku, tapi sebagai “makelar kekuasaan”, sebagai solusi kelam dari tatanan hukum yang timpang.

Baca :  Teori Bohlam Listrik: Sebuah Cermin bagi Pejabat Publik tentang Arti Jabatan, Kehormatan, dan Kehidupan Pasca Kekuasaan

Fenomena ini bukan sekadar kegagalan hukum, melainkan krisis etika dan budi pekerti dalam pengelolaan negara. Ketika ormas, proposal “pengamanan”, hingga jejaring politik digunakan sebagai topeng kekuasaan koersif, maka kita menghadapi bentuk baru premanisme—yang tak lagi bersenjata, tapi bersurat resmi dan berbalut jas. Mereka tidak sekadar meminta jatah, tetapi menciptakan logika jatah sebagai bentuk “kontribusi sosial”.

Baca :  Dandim 0415/Jambi Ajak Warga Aksi Nyata Peringati Hari Lingkungan Hidup di Danau Sipin

Wilson menyoroti bahwa kekuasaan informal ini justru disuburkan oleh elite formal yang menggunakannya untuk mengerjakan hal-hal yang tak bisa dilakukan secara sah. Preman, dalam banyak kasus, bukan musuh negara—melainkan mitra bayangan dalam demokrasi yang cacat.

Di tengah upaya industrialisasi dan masuknya investasi asing seperti perusahaan otomotif BYD, kehadiran para “mitra lingkungan” yang menawarkan stabilitas dengan nada samar adalah alarm keras. Ini bukan sekadar praktik pemalakan, tapi refleksi dari negara yang tidak hadir dalam menjamin kepastian hukum dan ketenteraman warga.

Baca :  Latihan PBB Warnai MPLS SMAN 8 Muaro Jambi Bersama Babinsa

Pertanyaan besar yang menggantung adalah: apakah kita sungguh hidup dalam negara hukum dan demokrasi? Ataukah kita sedang berada dalam negara bayangan, di mana kekuasaan sejati ada di tangan mereka yang bisa mengendalikan rasa takut tanpa perlu berteriak?

Jika kita tidak segera menjawab panggilan ini dengan pembenahan sistemik, penegakan hukum yang berkeadilan, serta restorasi etika publik, maka sejarah akan mencatat: premanisme bukan lagi penyimpangan—melainkan konsekuensi logis dari negara yang lalai hadir.

Inilah saatnya negara berhenti bersandar pada kekuasaan bayangan, dan kembali menjadi pelindung sejati bagi rakyatnya—dengan adil, beradab, dan bermartabat.**

Share :

Baca Juga

Artikel

Ketua KONI Ideal: Integritas di Atas Ambisi, Prestasi di Atas Politik

Artikel

Pentingnya Peranan Medsos Di Era Digitalisasi

Artikel

Pilkada & Domino, Mau “Enak-enak”

Artikel

Dinamika Konsumsi Musiman Jadi Katalis Utama Perekonomian

Artikel

Semua Berlalu dengan Begitu Saja

Artikel

Memperkuat Silaturahmi melalui Kumpul Bersama Teman Lama

Artikel

Ciri-Ciri Orang Cerdas Secara Psikologis dalam Perspektif Islam

Artikel

Empati dan Dedikasi: Pekerja Sosial Masyarakat Menciptakan Perubahan Positif