Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Indonesia tidak miskin. Rakyatnya yang dimiskinkan.
Kalimat ini bukan tuduhan kosong, melainkan potret menyakitkan yang telah lama dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia di pedalaman, di pesisir, di gunung-gunung, di pasar-pasar tradisional, hingga di lorong-lorong kota besar yang bising dan penuh polusi.
“Manifesto Kebangsaan Seri Ketiga” hadir sebagai suara lantang yang menyuarakan kebenaran yang sudah lama dikubur: bahwa kekayaan alam Indonesia — dari tambang, hutan, laut, hingga energi — tidak sedang dikelola untuk rakyat, tetapi untuk segelintir elite dan kepentingan asing yang terselubung.
Sementara negeri ini kaya dengan batu bara, nikel, emas, gas alam, dan hasil bumi lainnya, jutaan anak bangsa masih kesulitan makan, pendidikan mahal, dan hidup dari utang ke utang.
Ini adalah kegagalan sistemik. Dan ini harus diakhiri.
Oleh karena itu, Manifesto ini menyuarakan dengan jelas dan lugas :
“Sudah saatnya Sumber Daya Alam (SDA) dikelola secara konstitusional, berbasis keadilan sosial, dan diarahkan langsung untuk peningkatan kualitas hidup rakyat — bukan untuk pertumbuhan angka statistik yang menipu.”
Manifesto Seri Ketiga ini bukan sekadar retorika. Ia menawarkan kerangka operasional dan solusi konkret, antara lain :
Revisi total Undang-Undang tentang Minerba, Energi, dan Kehutanan agar kembali sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH), Dana CSR, dan Pajak SDA untuk :
• Pendidikan vokasi berbasis lokalitas
• Koperasi rakyat
• Riset dan teknologi anak bangsa
Pelibatan masyarakat lokal sebagai pemilik saham mayoritas dalam investasi SDA.
Audit menyeluruh terhadap seluruh perizinan tambang, HGU, dan konsesi yang cacat hukum dan bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pembangunan kawasan industri berbasis bahan baku lokal, bukan ekspor mentah.
Lebih dari itu, Manifesto ini menyampaikan pesan moral dan konstitusional :
“Negara tidak boleh netral ketika rakyat berhadapan dengan korporasi raksasa. Negara harus memihak kepada rakyat.”
Karena sesungguhnya, kedaulatan tidak berarti apa-apa jika kekayaan negeri ini tidak bisa dinikmati oleh mereka yang hidup dan mati di atas tanah air ini.
Ini bukan sekadar gagasan — ini adalah panggilan sejarah.
Kepada para kepala daerah, ini adalah arah baru pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Kepada para legislator, ini adalah cermin kejujuran di tengah perumusan undang-undang.
Kepada para pemuda, ini adalah ajakan untuk bangkit, belajar, dan bersuara.
Karena masa depan Indonesia tidak akan dibangun oleh mereka yang diam.
Masa depan Indonesia dibangun oleh mereka yang berani berpikir dan bertindak.
Dan “Manifesto Kebangsaan Seri Ketiga” adalah bekal kita untuk itu.
Kedaulatan SDA = Kesejahteraan Rakyat.
Tanpa itu, kita bukan negara merdeka — kita hanya menjadi ladang eksploitasi.
Mari kita tutup bab sejarah ketimpangan, dan kita buka lembaran baru Indonesia yang berdaulat, adil, dan sejahtera untuk semua.