Oleh: Letkol (Purn) Firdaus
SENGKETA kepemilikan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) bukan sekadar konflik administratif. Ini adalah potret buram dari lemahnya manajemen wilayah dan ingatan negara terhadap sejarah serta komitmen damai yang pernah dijanjikan kepada rakyat Aceh.
Bukan karena bencana alam atau konflik bersenjata seperti masa lalu. Kali ini, pemicunya datang dari meja birokrasi di Jakarta—dari sebuah keputusan administratif yang terdengar teknis, tapi beraroma politis.
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 100.1.1-835 Tahun 2024, disusul oleh Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025, secara mengejutkan menetapkan keempat pulau itu sebagai milik administratif Sumatera Utara. Padahal, pulau-pulau ini selama ini diyakini berada dalam wilayah Aceh berdasarkan sejarah, hukum, dan kesepakatan antarpemimpin daerah pada 1992.
Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang kini menjadi pusat sengketa wilayah antardaerah yang bukan hanya menyinggung soal peta, tapi juga menyentuh identitas, harga diri, dan luka lama rakyat Aceh.
Reaksi Rakyat Aceh: Bukan Sekadar Emosional
Langit Aceh belum mendung, tapi jalanan Banda Aceh sudah memanas. Warga dari berbagai elemen masyarakat melakukan konvoi dan pengibaran bendera Aceh, menyuarakan penolakan atas kebijakan Mendagri. Teriakan “MERDEKA!” kembali terdengar—sebuah gema yang pernah mengguncang republik di masa lalu, sebelum MoU Helsinki 2005 menjadi penanda damai.
Bagi rakyat Aceh, ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini tentang eksistensi. Tentang penghinaan terhadap sejarah. Tentang kecurigaan lama bahwa Jakarta hanya datang untuk mengatur, bukan mendengar.
Pemerintah Pusat Dianggap Arogan
Keputusan Mendagri dinilai tidak hanya gegabah, tapi juga menunjukkan arogansi pusat terhadap daerah. Tidak ada konsultasi terbuka, tidak ada mediasi publik, bahkan pemerintah Aceh mengaku tidak dilibatkan dalam validasi batas wilayah pulau-pulau tersebut.
Padahal, menurut pakar hukum tata negara, langkah seperti ini bisa membuka kotak pandora konflik perbatasan yang lebih luas. Indonesia masih memiliki ratusan titik rawan tapal batas administratif—dan jika preseden ini dibiarkan, efek domino sangat mungkin terjadi.
Blunder Kemendagri: Malas Meneliti, Cepat Mengukuhkan
Yang lebih menyakitkan, Kemendagri secara terbuka mengakui baru mengetahui kesepakatan 1992 setelah Kepmendagri 2022 dan 2025 ditetapkan. Ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, ini adalah malpraktik negara. Apakah wajar kementerian sebesar itu tidak melakukan penelusuran dokumen historis sebelum mengeluarkan keputusan sepenting ini?
Alih-alih menjadi penengah, Mendagri Tito Karnavian justru tampak berpihak, dan ketika seorang menteri kehilangan posisi netral, maka kredibilitas pemerintah pusat pun runtuh di mata daerah.
Potensi Migas: Motif yang Tak Terucap
Isu bahwa keempat pulau ini mengandung cadangan minyak dan gas membuat semua orang bertanya: Apakah keputusan ini murni administratif? Atau ada kepentingan ekonomi yang sedang diamankan?
Jika benar, maka publik berhak tahu. Sebab kebijakan tanpa transparansi adalah benih kecurigaan, dan Aceh terlalu lama hidup dalam bayang-bayang pengingkaran.
Api yang Terpendam
Aceh punya sejarah panjang ketegangan dan kekerasan negara. Ketika luka itu perlahan sembuh melalui jalan damai, kini muncul keputusan “di atas kertas” yang menyalakan kembali bara yang belum sepenuhnya padam.
Alih-alih menyelesaikan melalui dialog dan penghormatan atas kesepakatan lama, negara justru mengulang pola lama: memutuskan tanpa mendengar.
Presiden Turun Tangan: Simbol Kegagalan Sistem
Turunnya Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan sengketa ini seharusnya tidak perlu terjadi—bila Kemendagri bekerja secara benar dan adil. Ketika urusan yang seharusnya diselesaikan melalui forum antarprovinsi dan teknokrat justru masuk ke meja kepala negara, itu pertanda bahwa sistem kelembagaan kita sedang kebobolan.
Sementara itu, Mendagri yang seharusnya menjadi penengah, justru tak lagi bisa dipercaya oleh salah satu pihak.
Jangan Main Api di Tanah Bekas Bara
Saat wilayah yang dianggap bagian dari jantung budaya Aceh “dipindahkan” hanya karena garis digital di peta, maka yang terguncang bukan sekadar geospasial, tetapi jiwa kolektif masyarakat Aceh.
Negara seharusnya hadir sebagai pengayom keadilan wilayah, bukan aktor yang secara terang-terangan mengoyak rasa keadilan. Bila tidak ada langkah korektif, bahkan permintaan maaf terbuka, maka jangan salahkan bila retorika pemisahan diri kembali menemukan momentumnya.
Sebab ketika keadilan tak hadir, maka rakyat akan mencarinya sendiri. Bukan oleh elite, tetapi oleh masyarakat akar rumput.
Kesimpulan: Yang dibutuhkan saat ini bukan basa-basi dialog, melainkan pencabutan atau peninjauan ulang total atas Kepmendagri 2024 dan 2025. Jika negara ingin menjaga perdamaian, ia harus menghormati sejarah, melibatkan daerah, dan bertindak adil.
Jangan biarkan empat pulau kecil menjadi simbol besar kegagalan negara dalam menjaga kepercayaan daerah.**)