Oleh: Letkol (Purn) Firdaus
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata, “Kezaliman tidak akan pernah berhenti, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik.” Pernyataan ini merupakan pengingat tajam bahwa kezaliman bertahan bukan hanya karena kekuatan pihak yang berbuat salah, tetapi lebih karena ketidakberanian orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menyuarakan kebenaran. Dalam konteks kehidupan kita saat ini, diamnya orang-orang baik, termasuk tokoh agama, pejabat, dan masyarakat umum, menjadi faktor utama yang memperpanjang kejahatan dan ketidakadilan.
Dalam Islam, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan umat tidak hanya ditentukan oleh ibadah individual, tetapi juga oleh keberanian untuk menyampaikan kebenaran dan mencegah kebatilan. Ketika umat Islam memilih diam dalam menghadapi keburukan, maka dampaknya adalah terjadinya kebiasaan buruk yang dianggap wajar oleh masyarakat.
Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim mengingatkan kita bahwa mereka yang tidak menyuarakan kebenaran adalah seperti syaitan al-akhras (setan bisu). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sikap proaktif dalam menegakkan kebenaran, karena diam dalam kebenaran sejatinya adalah sebuah dosa.
Pada saat umat dihadapkan pada pilihan antara yang hak dan batil, antara halal dan haram, peran ulama dan tokoh masyarakat menjadi sangat vital. Namun, sering kali kita melihat adanya sikap “netral” yang diambil oleh sebagian ulama dalam situasi yang membutuhkan kejelasan.
Sikap netral ini menjadi persoalan ketika umat membutuhkan arahan yang tegas. Ulama, sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya), memiliki kewajiban moral untuk menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah seseorang di antara kalian menjadi imma’ah (pengikut buta) yang berkata, ‘Aku bersama orang-orang, jika mereka berbuat baik, aku pun akan berbuat baik; jika mereka berbuat jahat, aku pun akan berbuat jahat.’ Tetapi teguhkanlah dirimu: jika orang-orang berbuat baik, berbuatlah baik; jika mereka berbuat jahat, jauhilah kejahatan mereka.” (HR. Tirmidzi)
Sikap netral dalam situasi yang jelas-jelas melibatkan kebatilan adalah bentuk kelalaian terhadap tanggung jawab. Ulama, tokoh agama, dan pemimpin masyarakat harus mengambil sikap yang tegas untuk membimbing umat, meskipun hal itu mungkin akan menimbulkan risiko bagi mereka.
Diamnya pejabat dan tokoh masyarakat saat masih memiliki jabatan, namun baru bersuara setelah purna tugas, adalah fenomena yang sering terjadi. Ketika mereka memiliki kekuasaan untuk membuat perubahan, banyak yang memilih untuk diam atau bermain aman.
Rasulullah SAW bersabda:
“Diamnya Orang Baik: Sebuah Renungan Tentang Kezaliman “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai kapasitasnya. Para pemimpin yang memiliki wewenang seharusnya menggunakan kekuasaannya untuk memperjuangkan keadilan dan menegakkan kebenaran. Menunda suara kebenaran hingga jabatan selesai hanya akan memperpanjang kezaliman yang dirasakan oleh masyarakat.
Untuk mengakhiri budaya diamnya orang-orang baik, diperlukan langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan secara bersama-sama, di antaranya:
1. Meningkatkan Kesadaran Umat. Dakwah yang berkesinambungan harus terus dilakukan untuk mengingatkan umat akan pentingnya menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan. Pendidikan agama yang benar menjadi landasan bagi umat untuk tidak mudah terpengaruh oleh kebatilan.
2. Membangun Solidaritas. Persatuan umat Islam menjadi kunci dalam melawan kezaliman. Ketika umat bersatu, mereka akan lebih kuat dalam menghadapi tantangan dan menegakkan keadilan.
3. Menguatkan Keberanian Moral. Tokoh agama, pejabat, dan masyarakat umum harus diberdayakan untuk memiliki keberanian moral dalam menyuarakan kebenaran. Keberanian ini harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah.
4. Membentuk Forum Perjuangan. Dibutuhkan wadah atau forum yang memfasilitasi diskusi, perencanaan, dan aksi nyata dalam menegakkan kebenaran. Forum ini harus mencakup berbagai elemen masyarakat, termasuk ulama, pemimpin, dan aktivis.
Diamnya orang-orang baik adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan kezaliman terus berlanjut. Untuk menghentikan hal ini, kita harus mulai dengan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Keberanian untuk menyuarakan kebenaran harus didukung oleh pengetahuan yang mendalam dan niat yang ikhlas.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)
Mari kita renungkan, apakah kita termasuk orang yang diam saat melihat kebatilan, ataukah kita berusaha menjadi bagian dari solusi dengan menyuarakan kebenaran? Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Aamiin.**