Bangun Sinergi Wilayah, Babinsa Pelayangan Intensifkan Komsos di Arab Melayu Babinsa Pasar Beri Pembinaan, Cegah Kenakalan Remaja di Beringin Babinsa Dampingi Safari Lurah Baru Tambak Sari, Jalin Kedekatan dengan Warga dan Pengusaha Lokal Gencarkan Komsos, Babinsa Pematang Lima Suku Gaungkan Sinergi untuk Keamanan Warga Babinsa Telanaipura Tekankan Sinergi dan Kewaspadaan di Rumah Dinas Wali Kota Jambi

Home / Artikel

Rabu, 5 Februari 2025 - 20:05 WIB

Dendam Tiongkok terhadap Nusantara: Dari Konflik Majapahit hingga Infiltrasi Modern

Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla./Red

Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla./Red

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Sejarah Nusantara menyimpan banyak kisah perlawanan terhadap kekuatan asing, termasuk terhadap Tiongkok yang sejak dahulu berusaha menancapkan pengaruhnya di wilayah ini. Salah satu peristiwa paling terkenal terjadi pada abad ke-14, ketika hubungan antara Majapahit dan Dinasti Ming memburuk akibat tindakan raja Majapahit terhadap utusan kaisar Tiongkok.

Pada saat itu, Kaisar Yongle (Zhu Di) dari Dinasti Ming mengirimkan utusan ke Majapahit sebagai bagian dari ekspedisi diplomatik yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Namun, karena situasi politik yang tegang dan dugaan adanya ancaman dari pihak Tiongkok, Raja Wikramawardhana (yang memerintah Majapahit setelah Tribhuwana Tunggadewi) mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan menghukum utusan tersebut, bahkan memotong telinganya. Insiden ini menjadi pemicu ketegangan antara Majapahit dan Tiongkok, serta menciptakan dendam yang tak terlupakan dalam sejarah hubungan kedua negara.

Sejak saat itu, Tiongkok terus berusaha mencari celah untuk menguasai Nusantara, baik melalui jalur perdagangan, intervensi politik, maupun infiltrasi ekonomi. Berulang kali, mereka mencoba memperluas pengaruhnya di kepulauan yang kaya akan sumber daya ini. Namun, perlawanan bangsa Nusantara selalu menjadi penghalang utama bagi ambisi mereka.

Upaya Penguasaan Indonesia di Era Modern

Jika kita menelaah sejarah, Tiongkok telah mencoba berbagai cara untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Setelah reformasi 1998, pintu semakin terbuka lebar bagi infiltrasi ekonomi Tiongkok, yang dimanfaatkan oleh oligarki dalam negeri untuk memperkuat dominasi mereka. Namun, upaya ini mencapai puncaknya dalam satu dasawarsa terakhir, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Baca :  Silaturahmi Abadi PEPABRI Kota Jambi: Persaudaraan yang Tak Pernah Pensiun

Pada tahun 2019, Indonesia menandatangani 23 Nota Kesepahaman (MoU) dengan Tiongkok dalam KTT Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing. Perjanjian ini membuka jalan bagi investasi besar-besaran dari Tiongkok, terutama di sektor infrastruktur, yang justru semakin memperdalam ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negeri Tirai Bambu.

Lebih jauh, pengaruh Tiongkok juga terlihat dalam lahirnya berbagai Undang-Undang yang dianggap sebagai pesanan oligarki yang berkiblat ke Tiongkok, di antaranya :

• Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), yang memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan Timur dan membuka peluang bagi penguasaan strategis Jakarta oleh oligarki.

• Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), yang pada dasarnya menyerahkan kendali Jakarta dan wilayah sekitarnya kepada oligarki yang memiliki hubungan erat dengan kepentingan Tiongkok.

Selain itu, strategi lebensraum (perluasan wilayah dengan menguasai tanah pribumi) dan frontier expansion (penguasaan kawasan strategis) mulai diterapkan di Indonesia melalui berbagai proyek, termasuk Pantai Indah Kapuk (PIK). Proyek ini bertujuan untuk menguasai garis pantai di berbagai wilayah Nusantara dan menjadikannya sebagai hunian eksklusif bagi etnis Tionghoa yang datang dari luar negeri. Bahkan, PIK tidak hanya terbatas pada Jakarta, tetapi diproyeksikan akan berkembang hingga PIK 11, yang mencakup seluruh pantai di Pulau Jawa dan wilayah pesisir lainnya.

Baca :  Pentingnya Peranan Medsos Di Era Digitalisasi

Tidak berhenti di situ, Tiongkok juga menargetkan penguasaan pelabuhan-pelabuhan strategis di Indonesia. Hal ini menjadi bagian dari strategi geopolitik untuk mengendalikan jalur perdagangan global yang melewati Nusantara. Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin bahwa Tiongkok akan mendirikan pangkalan militer di Indonesia sebagai bagian dari ekspansi kekuatan mereka di kawasan Asia Tenggara.

Ketika kebijakan nasional semakin tunduk pada kepentingan oligarki yang berafiliasi dengan Tiongkok, tidak mengherankan jika muncul pernyataan kontroversial dari seorang taipan yang mengatakan, “Mulut saya adalah Undang-Undang.” Hal ini mencerminkan betapa kuatnya pengaruh asing dalam menentukan arah kebijakan negara, sementara rakyat pribumi semakin terpinggirkan di tanah airnya sendiri.

Pernyataan serupa juga datang dari James Riyadi, yang dalam sebuah tulisan menyebutkan bahwa eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia akan mengeliminasi pribumi dalam waktu 10 tahun mendatang. Pernyataan ini bukan sekadar omong kosong, tetapi menjadi ancaman nyata jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa.

Bahkan, dalam konteks politik, muncul indikasi kuat bahwa oligarki Tiongkok berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan mengawal Gibran Rakabuming Raka agar menjadi Presiden di masa mendatang. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan pro-Tiongkok tetap berlanjut tanpa hambatan.

Solusi: Mengembalikan Kedaulatan Indonesia dari Cengkeraman Tiongkok dan Oligarki

Agar Indonesia tidak jatuh sepenuhnya ke dalam kendali Tiongkok, ada dua langkah utama yang harus segera dilakukan :

Baca :  Memaknai Program Safari Subuh Pemerintah

1. Kembali ke UUD 1945 yang Asli

Sejak dilakukan amandemen sebanyak empat kali, UUD 1945 telah berubah dari instrumen kedaulatan menjadi alat liberalisasi ekonomi yang membuka pintu bagi dominasi asing. Dengan kembali ke UUD 1945 yang asli, Indonesia dapat :

• Mengembalikan kontrol negara terhadap sektor strategis dan sumber daya alam.

• Menutup celah bagi investasi asing yang merugikan rakyat.

• Memastikan kebijakan ekonomi dan politik tetap berpihak pada kepentingan nasional.

2. Bangkitkan Semangat Bela Negara Secara Masif

Bela Negara bukan hanya sebatas persiapan militer, tetapi juga kesadaran nasional untuk melawan segala bentuk infiltrasi asing. Dengan meningkatkan kesadaran ini, rakyat Indonesia dapat :

• Menolak kebijakan yang merugikan bangsa dan memperkaya oligarki.

• Melakukan boikot terhadap produk dan perusahaan yang berafiliasi dengan kepentingan asing yang merugikan rakyat.

• Menekan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang lebih nasionalis dan berpihak kepada kepentingan rakyat.

Indonesia harus segera mengambil langkah konkret sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, dalam beberapa dekade ke depan, bangsa ini hanya akan menjadi penonton di tanah air sendiri, terjajah secara ekonomi, politik, dan budaya. Sejarah telah membuktikan bahwa Nusantara selalu menjadi incaran kekuatan asing. Saatnya bagi kita untuk bangkit dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat..!

Share :

Baca Juga

Artikel

Membaca Lansekap Jambi: Mengurai Kompleksitas, Menata Konektivitas

Artikel

74 Tahun Penerangan TNI AD: Bekerja dengan Hati, Menyatukan Negeri

Artikel

Negara Tak Hadir, Preman Menjadi Hukum: Kajian Akademisi Australia soal Hercules dan Demokrasi Bayangan di Indonesia

Artikel

Problema Batubara

Artikel

Ledakan Hoaks di Medsos: Tantangan Literasi Digital di Era Banjir Informasi

Artikel

Ini Budi, Balai Perjuangan dan Spirit Kemenangan Budi Setiawan Bersama Rakyat Jambi (1)

Artikel

Dirgahayu TNI ke-79: Transformasi Menuju Kekuatan Modern dan Penjaga Stabilitas Nasional

Artikel

Menjawab Polemik TNI di Kampus dengan Narasi Damai dan Kolaboratif