Oleh: Firdaus. B
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah tonggak demokrasi yang diharapkan mencerminkan kehendak rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan dan kesejahteraan. Namun, kenyataan di lapangan sering kali bertolak belakang dengan idealisme ini. Bantuan sosial (bansos) dan praktik money politic menjadi alat manipulasi untuk memengaruhi pilihan masyarakat. Fenomena ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga menjadi bukti nyata kegagalan revolusi mental dalam membangun integritas dan moralitas di kalangan pemimpin dan masyarakat.
Revolusi mental, yang dirancang untuk mengubah pola pikir dan perilaku bangsa, sejatinya bertumpu pada tiga pilar utama: integritas, etos kerja, dan gotong royong. Namun, praktik politik transaksional, seperti penggunaan bansos dan uang untuk membeli suara, justru menunjukkan lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai tersebut. Pemimpin yang menggunakan cara ini mengabaikan tanggung jawab moral dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi serta kekuasaan.
Penyalahgunaan bansos sebagai alat kampanye tidak hanya menyalahi etika, tetapi juga memanipulasi masyarakat yang seharusnya diberdayakan. Bantuan yang disalurkan sering kali tidak adil, hanya menguntungkan kelompok tertentu yang dianggap strategis secara politik. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial yang semakin nyata. Selain itu, masyarakat penerima bantuan cenderung terjebak dalam budaya pragmatisme, di mana pilihan politik mereka dipengaruhi oleh manfaat langsung, bukan visi atau misi kandidat.
Praktik politik uang dalam pemilu atau pilkada tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang berbahaya. Pola ini menciptakan pejabat publik yang korup, karena mereka merasa perlu mengembalikan modal yang telah dihabiskan untuk memenangkan pemilu. Dengan kata lain, dasar utama terjadinya korupsi di pemerintahan adalah proses pemilihan yang didominasi oleh praktik politik uang. Pemimpin yang terpilih melalui cara ini cenderung memprioritaskan keuntungan pribadi dan kelompoknya, dibandingkan kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama.
Lebih jauh, penyalahgunaan bansos dan praktik politik uang memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika publik melihat bahwa program-program sosial digunakan sebagai alat politik, kepercayaan terhadap integritas institusi negara semakin terkikis. Siklus ini menciptakan budaya ketidakpercayaan yang menghambat upaya reformasi dan pembangunan karakter bangsa sesuai semangat revolusi mental.
Mengatasi masalah ini membutuhkan langkah nyata yang konsisten. Transparansi dalam penyaluran bansos harus menjadi prioritas, dengan melibatkan pengawasan ketat dari lembaga independen. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang harus diperketat, dengan memberikan sanksi berat yang menimbulkan efek jera. Edukasi politik kepada masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya memilih berdasarkan kualitas kandidat, bukan berdasarkan bantuan atau uang yang diterima.
Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika semua pihak berkomitmen pada nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Penyalahgunaan bansos dan money politic adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, revolusi mental harus diwujudkan dalam tindakan nyata, membangun moralitas yang kuat di setiap elemen bangsa, mulai dari pemimpin hingga rakyat. Dengan demikian, Pilkada dapat kembali menjadi ajang demokrasi yang bersih dan bermartabat. **