Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Di tengah usia kemerdekaan yang telah melewati delapan dekade, bangsa Indonesia terus dihadapkan pada realitas pahit: dinamika politik dan perebutan kekuasaan lebih sering menjadi sorotan ketimbang nasib rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama negara. Setiap hari, wacana publik dipenuhi dengan isu politik praktis—pertarungan elite, bagi-bagi jabatan, hingga tarik-menarik kepentingan—namun jarang terdengar perdebatan serius tentang bagaimana meningkatkan kualitas hidup rakyat, membuka lapangan kerja, menekan beban pajak, dan mengelola sumber daya alam (SDA) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang–Undang Dasar 1945.
Padahal, UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, serta bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktiknya, kebijakan pengelolaan SDA masih banyak bertumpu pada pemberian izin tambang kepada korporasi besar, termasuk investor asing, sementara rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Kondisi ini berpotensi melanggar prinsip kedaulatan ekonomi yang dijunjung oleh konstitusi.
Selain itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun realitasnya, APBN masih sangat bergantung pada penerimaan pajak rakyat dan pinjaman luar negeri. Ketergantungan ini justru membebani masyarakat dan memperlemah kedaulatan ekonomi bangsa.
Indonesia memiliki kekayaan SDA yang melimpah—dari tambang emas, nikel, batubara, minyak, gas, hingga kekayaan laut dan hutan tropis yang luas. Jika kekayaan ini dikelola secara mandiri oleh negara dengan melibatkan rakyat melalui model Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kuat dan koperasi rakyat yang transparan, APBN sejatinya dapat memperoleh sumber pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pajak rakyat. Hal ini akan membuka peluang bagi negara untuk menurunkan beban pajak, meningkatkan belanja sosial, dan membiayai pembangunan tanpa harus bergantung pada utang luar negeri.
Penting untuk diingat, Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan bernegara: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan luhur ini jelas mengamanatkan agar negara hadir secara aktif dalam meningkatkan taraf hidup rakyatnya, bukan hanya menjadi regulator yang menyerahkan kekayaan bangsa kepada segelintir pihak.
Kini, sudah saatnya Indonesia melakukan reorientasi kebijakan ekonomi nasional:
1. Menghentikan ketergantungan pada politik bagi-bagi kekuasaan dan mengembalikan fokus pemerintahan pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
2. Mereformasi sistem pengelolaan SDA agar negara menjadi aktor utama dalam produksi dan distribusi kekayaan alam dengan melibatkan rakyat sebagai pemilik sah sumber daya tersebut.
3. Menyusun ulang sistem APBN berbasis kedaulatan SDA, sehingga pajak bukan lagi tulang punggung utama penerimaan negara.
4. Mendorong pembukaan lapangan kerja produktif, berbasis hilirisasi industri nasional yang memanfaatkan potensi SDA secara berkelanjutan.
Pertanyaan “bisakah?” sejatinya bukanlah keraguan, melainkan tantangan konstitusional yang harus dijawab oleh seluruh pemimpin bangsa. Jawabannya akan bergantung pada keberanian elite politik untuk kembali ke cita-cita Proklamasi dan UUD 1945, meninggalkan praktik politik transaksional, serta mengedepankan kedaulatan ekonomi untuk kemakmuran rakyat.
Jika negara berani mengambil alih kendali penuh atas kekayaan alamnya dan menjadikannya sebagai sumber utama APBN, Indonesia tidak hanya bisa mengurangi beban pajak rakyat, tetapi juga mampu membiayai pembangunan nasional secara mandiri, bebas dari jerat utang luar negeri.
Sudah saatnya bangsa ini tidak lagi gaduh oleh urusan kursi kekuasaan, tetapi riuh oleh karya nyata untuk kemakmuran seluruh rakyatnya.