LDII Jambi Turun ke Jalan, Gerakkan Kerja Bakti Nasional demi Negeri Dandim Bute Buka Karang Taruna Cup: “Jadilah Generasi Berperan, Bukan Baperan”! Menunduk untuk Mengulurkan Tangan: Kodim 0416/Bute dan Lions Club Salurkan Bantuan untuk Pejuang Bangsa LDII Tutup Perkemahan CAI ke-46 Jambi: Serukan Nasionalisme dan Akhlak Mulia LDII Jambi Dorong Dakwah Lewat Tulisan di Perkemahan CAI ke-46

Home / Artikel

Selasa, 24 Juni 2025 - 15:40 WIB

“Netralitas Strategis Indonesia di Tengah Krisis Iran-Israel: Menghindari Polarisasi Global dan Menjaga Ketahanan Nasional”

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Jakarta, 25 Juni 2025 — Ketegangan militer antara Iran dan Israel, yang kini telah melibatkan Amerika Serikat dan milisi-milisi regional, semakin mengarah pada eskalasi kawasan yang sangat mungkin menjalar menjadi konflik global multipolar. Dalam suasana geopolitik yang semakin panas dan terfragmentasi, Indonesia sebagai negara non-blok, demokrasi terbesar di Asia Tenggara, dan anggota G20, harus bersikap cerdas, rasional, dan strategis — bukan reaksioner, emosional, atau ikut terseret pada polarisasi yang tidak menguntungkan.

TIDAK PERLU STATEMENT MURAHAN ATAU SIKAP POLITIS YANG SIMPLISTIK

Seruan-seruan agar Indonesia mengecam sepihak salah satu pihak dalam konflik — baik Israel maupun Iran — tanpa dasar strategis yang jelas dan tanpa evaluasi dampaknya bagi kepentingan nasional, adalah tindakan politis dangkal dan berpotensi kontra-produktif. Indonesia harus menjaga konsistensinya sebagai :

• Negara hukum yang menghormati prinsip Piagam PBB*, termasuk larangan penggunaan kekuatan secara sewenang-wenang.

• Negara dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, bukan ikut kampanye ideologis salah satu kutub kekuasaan global.

Baca :  Pasiter Kodim 0419/Tanjab Pimpin Apel Pagi Satgas TMMD ke-124 di Desa Kemuning

• Mediator damai, bukan bagian dari konflik blok militer mana pun.

Sebagaimana diajarkan oleh politik luar negeri konstitusional Indonesia (Pasal 11 UUD 1945 dan Pembukaan UUD alinea pertama dan keempat) — sikap utama Indonesia adalah menciptakan perdamaian dunia, bukan menciptakan musuh baru yang akan membawa risiko ekonomi dan keamanan nasional.

KONFLIK INI BUKAN KONFLIK KITA — TAPI DAMPAKNYA AKAN SAMPAI KE KITA

Alih-alih meributkan posisi politik yang tidak akan mempengaruhi arah konflik, pemerintah Indonesia harus fokus pada mitigasi dampak riil dari eskalasi ini terhadap ketahanan nasional.

1. Risiko Kelangkaan Minyak: Ketergantungan Energi Nasional

Indonesia, meski pernah menjadi eksportir minyak, kini adalah net-importer energi, dengan sekitar 60% kebutuhan BBM nasional bergantung pada impor, terutama dari kawasan Teluk Persia.

Jika Selat Hormuz — jalur 20% perdagangan minyak dunia — ditutup akibat perang, maka :

• Harga minyak dunia bisa menembus USD 150–200 per barel.

Baca :  TMMD Kodim 0419/Tanjab Mulai Pengeboran Sumur Bor, Air Bersih untuk 21 Kepala Keluarga di Desa Kemuning

• Subsidi energi akan melonjak, membebani APBN.

• Inflasi nasional bisa meningkat drastis.

• Industri dan logistik nasional terancam lumpuh karena kelangkaan pasokan.

Solusi yang harus disiapkan Indonesia :

• Menambah cadangan strategis energi nasional (Strategic Petroleum Reserve – SPR).

• Diversifikasi pasokan energi dari Afrika Barat, Australia, dan Amerika Latin.

• Percepatan program biofuel nasional, EBT, dan kendaraan listrik.

2. Ketahanan Pangan: Impor Beras dari Thailand dan Vietnam Bisa Terganggu

Sekitar 30–40% pasokan beras nasional masih bergantung pada impor dari negara-negara Asia Tenggara, terutama Thailand dan Vietnam. Jika perang ini memicu :

• Disrupsi perdagangan global.

• Kenaikan harga logistik dan energi.

• Proteksionisme pangan (seperti embargo ekspor beras).

maka pasokan beras Indonesia sangat terancam.

Langkah strategis yang perlu segera diambil:

• Meningkatkan luas tanam nasional dan produktivitas petani melalui teknologi dan insentif.

• Membangun cadangan beras pemerintah (CBP) yang memadai untuk jangka panjang.

• Mengembangkan kerjasama bilateral pangan dengan negara non-tradisional, seperti Pakistan, Suriname, dan beberapa negara Afrika.

Baca :  Jambi dan Desain Besar Sawit–Kelapa–Karet: Antara Rencana Strategis dan Realita

SINTESIS: PRIORITAS NASIONAL DI ATAS SEGALANYA

Indonesia tidak perlu ikut menjadi pion dalam perang ideologis global, melainkan harus menjadi negara yang matang, berdaulat, dan berpandangan jauh ke depan. Dalam konteks ini, ada tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi:

1. Ketahanan Nasional adalah prioritas absolut – tidak boleh dikorbankan demi manuver politik luar negeri yang hanya simbolik.

2. Kepentingan rakyat Indonesia adalah kompas utama, bukan tekanan internasional atau opini global yang bias.

3. Kebijakan harus berbasis data dan perhitungan strategis, bukan hanya moralitas sepihak yang tidak memperhitungkan kompleksitas geopolitik.

PENUTUP: NETRALITAS BUKAN BERARTI TIDAK BERPRINSIP

Menjaga jarak dari konflik bukan berarti mendukung ketidakadilan. Justru dengan tidak berpihak secara sembarangan, Indonesia dapat berperan sebagai penjaga perdamaian yang dipercaya oleh semua pihak, dan memastikan bangsa ini tetap berdiri kokoh dalam badai global yang sedang datang.

“Dalam perang orang lain, jangan biarkan rakyat kita yang jadi korban.”

Share :

Baca Juga

Artikel

Ngopi Sendiri: Merayakan Sepi, Menemukan Arti

Artikel

Sombong Itu Warisan Iblis, Rendah Hati Itu Jalan Nabi

Artikel

BREAKING NEWS: PENJARAHAN HARTA KARUN SUNGAI BATANGHARI, WARISAN PERADABAN DUNIA TERANCAM PUNAH..!

Artikel

Penyamaan Sawit dengan Hutan Alami: Analisis Kritis terhadap Fungsi Ekologis dan Dampak Lingkungan

Artikel

Aspek Terlupakan dari Puasa Ramadhan: Revolusi Pikiran, Energi Kosmik, dan Kesadaran Spiritual

Artikel

Semua Berlalu dengan Begitu Saja

Artikel

Puasa dan Optimalisasi Gelombang Otak: Gerbang Menuju Kejernihan Pikiran dan Kreativitas Tinggi

Artikel

Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan Modern, dan Teori Relativitas