Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
KASUS pagar laut di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 semakin menunjukkan paradoks yang mencengangkan. Di satu sisi, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa hingga kini belum diketahui siapa pelaku di balik pemagaran laut tersebut. Namun, ketika TNI Angkatan Laut menjalankan perintah Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut pagar laut yang dinilai merugikan nelayan dan melanggar hukum, justru Menteri KKP meminta agar pencabutan itu dihentikan sementara.
Tidak berhenti di situ, indikasi rekayasa opini publik mulai terkuak. Masyarakat nelayan di sekitar PIK 2 diduga dikondisikan oleh pihak tertentu, khususnya kelompok yang berafiliasi dengan Aguan, untuk memberikan kesaksian bahwa pagar laut tersebut merupakan hasil swadaya nelayan. Bahkan, muncul sosok mahasiswa yang mengaku sebagai penggagas pembangunan pagar laut tersebut, meskipun kebenaran klaim ini diragukan banyak pihak.
Di dunia maya, aksi manipulasi informasi pun semakin menggila. Sejumlah pihak, termasuk figur yang dikenal sebagai “tikus-tikus busuk” dalam propaganda media sosial seperti Abu Janda, diduga mengunggah konten di TikTok yang menggiring opini bahwa pagar laut tersebut murni inisiatif nelayan. Mereka bahkan menghina serta memaki anak bangsa yang tengah memperjuangkan kebenaran dan hak para nelayan.
Konsekuensi Hukum dan Penyimpangan Semangat Bela Negara
Paradoks ini bukan sekadar drama politik atau konflik kepentingan semata, tetapi memiliki implikasi hukum yang serius. Berdasarkan UUD 1945 yang asli, setiap kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat—terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan hak-hak nelayan—dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap semangat ”Bela Negara”.
Konsekuensi hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengingkaran fakta dan rekayasa informasi ini dapat mengacu pada beberapa regulasi, antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
• Setiap upaya penguasaan wilayah perairan secara ilegal, termasuk pembangunan pagar laut yang menghambat akses nelayan, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum maritim Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang, kolusi, atau kepentingan bisnis tertentu yang merugikan kepentingan publik, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
• Penyebaran informasi menyesatkan oleh pihak-pihak yang menggiring opini publik dengan narasi palsu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak publik atas informasi yang benar.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
• Pasal tentang fitnah dan penyebaran berita bohong (Pasal 311 KUHP) dapat menjerat pihak yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu demi menutupi kebenaran.
5. UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3
• “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
• Pembangunan pagar laut yang menghambat akses nelayan jelas melanggar prinsip ini.
Jika dibiarkan, kasus PIK 2 bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman terhadap kedaulatan bangsa di sektor maritim. Upaya penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan transparan untuk memastikan tidak ada pihak yang bermain di balik layar demi kepentingan pribadi atau oligarki tertentu.
Kesimpulan: Siapa yang Sebenarnya Membela Negara..?
Dalam kasus ini, mereka yang berada di garda terdepan memperjuangkan hak nelayan dan menolak monopoli laut adalah pejuang sejati *”Bela Negara”*. Sebaliknya, mereka yang berusaha mengaburkan fakta, menghalangi kebijakan Presiden, serta menggiring opini publik dengan narasi palsu, sejatinya telah mengkhianati kepentingan bangsa.
Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan sikap tegas dengan memerintahkan pencabutan pagar laut yang melanggar hak nelayan. Kini, tinggal menunggu langkah konkret aparat penegak hukum untuk menyeret para pelaku penyimpangan ini ke meja hijau. Akankah hukum benar-benar ditegakkan, atau paradoks ini akan terus dibiarkan menjadi borok dalam sistem tata kelola maritim Indonesia..?**