Di era digital yang penuh kebisingan, manusia begitu mudah berpendapat, menghakimi, dan merasa paling benar. Celakanya, banyak yang tidak sadar bahwa di balik layar dan lisan, mereka sedang memelihara kesombongan—penyakit hati yang diwariskan langsung oleh makhluk terlaknat: Iblis.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menceritakan bagaimana Iblis menjadi makhluk pertama yang sombong. Ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Adam, ia menjawab dengan pongah:“Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Iblis tidak melanggar dalam bentuk tindakan fisik, tetapi ia membangkang dalam batin dan logika. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah karena merasa lebih mulia. Maka Allah murka dan berfirman: “Maka turunlah kamu dari surga! Sesungguhnya kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya.”(QS. Al-A’raf: 13)
Bandingkan dengan kisah Nabi Adam ‘alaihis salam. Ia memang pernah melakukan kesalahan dengan memakan buah terlarang. Namun begitu sadar, ia langsung merendah dan bertobat, mengakui kesalahannya bersama istrinya:“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”(QS. Al-A’raf: 23)
Di sinilah bedanya. Adam bersalah tapi merendah. Iblis tidak bersalah secara fisik, tapi membangkang dan sombong. Satu diampuni, yang lain dikutuk.
Rasulullah ﷺ memperingatkan dengan sangat tegas dalam hadisnya:“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau sebesar biji zarah.”(HR. Muslim)
Kesombongan bisa muncul dalam berbagai bentuk: merasa lebih suci, lebih alim, lebih pintar, lebih layak didengar, lebih pantas dituruti. Bahkan dalam hal ibadah pun seseorang bisa terperangkap riya dan merasa diri paling benar, lalu meremehkan orang lain.
Padahal sejatinya kemuliaan di hadapan Allah tidak terletak pada kata-kata atau gelar, melainkan pada ketakwaan dan kerendahan hati. Allah menegaskan:“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Kerendahan hati atau tawadhu’ bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan sejati seorang mukmin. Nabi Muhammad ﷺ, manusia termulia, adalah sosok yang sangat tawadhu. Beliau makan di lantai, tidur di atas tikar kasar, mencuci pakaiannya sendiri, bahkan tidak membedakan diri saat duduk di tengah-tengah sahabat.
Namun hari ini, banyak manusia lebih mudah meniru Iblis daripada meneladani Nabi. Sombong dengan followers, angkuh karena jabatan, merasa suci karena kata-kata agama yang diucapkan di media sosial. Ironisnya, sebagian dari mereka tak sadar telah berubah menjadi “setan berkedok manusia”.
Rasulullah ﷺ bersabda:“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia merendahkan saudaranya sesama Muslim.”(HR. Muslim)
Kesombongan bukan hanya soal sikap, tapi juga soal nasib akhirat. Ia adalah penghalang masuk surga. Maka jangan biarkan setitik pun sombong bersarang di hati kita. Sebab dari situlah Iblis memulai kejatuhannya, dan dari situlah pula kita bisa tergelincir jika tidak waspada.
Hiduplah dengan rendah hati. Belajarlah dari Adam, jauhilah warisan Iblis, dan teladanilah Nabi Muhammad ﷺ. Karena jalan ke surga bukan diukur dari tinggi suara atau banyaknya pengikut, melainkan dari hati yang tunduk dan bersih.
Penulis: Mayor (Purn) Arifan
Editor: Jagat Taniwara54