Oleh: Dr. Arfa’i, SH, MH.
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Jambi
Tanggal 1 Juni 2025 diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Meskipun pada tanggal 1 Juni 1945 belum terjadi finalisasi atas nama dan isi Pancasila, namun karena istilah “Pancasila” pertama kali diutarakan oleh Ir. Soekarno sebagai usulannya untuk dasar negara Republik Indonesia, maka tanggal ini diperingati secara nasional.
Perlu diketahui bahwa kelima dasar negara tersebut baru secara resmi disahkan pada 18 Agustus 1945 dan dimuat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tanpa menyebut istilah “Pancasila” secara eksplisit. Meski demikian, sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pondasi dan bintang pemandu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, setiap peringatan Hari Lahir Pancasila seharusnya dijadikan momen untuk merenungkan dan meresapi kembali nilai-nilai luhur Pancasila, baik sebagai ideologi, dasar negara, maupun pedoman hidup bangsa.
Tiga Pilar Kekuatan Bangsa
Maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada tiga hal utama:
1. Ideologi yang dianut,
2. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemerintahan dan masyarakat,
3. Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki.
Ketiga aspek ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, dengan ideologi sebagai pengikat utama. Negara dengan SDA dan SDM unggul tetap akan gagal bila rakyatnya tidak menaati ideologi negaranya. Sebaliknya, ideologi yang baik tanpa dukungan SDM dan SDA yang memadai juga tidak akan membawa kemajuan. Maka dari itu, ideologi – dalam hal ini Pancasila – menjadi kunci utama.
Pancasila: Ideologi Asli Bangsa Indonesia
Setiap negara pasti memiliki ideologi sebagai fondasi nilai dan arah kebijakan. Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang memiliki ideologi dengan karakteristik khas – lahir dari budaya, agama, dan adat-istiadat yang telah hidup dalam masyarakat sejak lama. Pancasila adalah hasil dari nilai-nilai yang bersumber dari dalam bangsa Indonesia sendiri, bukan adopsi dari luar. Oleh karena itu, Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka (Kaelan, 2004) karena mampu berkembang sesuai zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Paradigma dalam Mengimplementasikan Pancasila
Memperingati Hari Lahir Pancasila adalah momen penting untuk menata kembali cara pandang dan paradigma kita dalam mengimplementasikan nilai-nilainya. Namun, dalam pelaksanaannya, muncul beberapa paradigma yang seringkali menyesatkan:
1. Paradigma sektarian
Menganggap bahwa pelaksanaan Pancasila dapat disesuaikan secara mutlak dengan adat, agama, atau kepercayaan masing-masing, tanpa mempedulikan kesatuan NKRI. Paradigma ini berpotensi memicu konflik, karena menjadikan kelompok lain sebagai “yang berbeda” bahkan sebagai musuh.
2. Paradigma liberal
Menganggap bahwa Pancasila hanyalah kumpulan nilai yang dapat disesuaikan dengan selera publik atau media sosial. Akibatnya, pembentukan peraturan perundang-undangan dan praktik demokrasi tidak lagi berpijak pada nilai-nilai dasar bangsa.
3. Paradigma ideal (yang seharusnya)
Menempatkan Pancasila sebagai dasar utama, yang memandu seluruh adat, agama, dan kepercayaan agar tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep Bhineka Tunggal Ika menjadi perekat keragaman. Dalam paradigma ini, menjalankan adat atau agama berarti juga menjalankan Pancasila.
Paradigma ideal inilah yang seharusnya dijadikan pegangan. Pancasila bukan alat politik, bukan pula sekadar retorika. Ia adalah landasan moral dan hukum bangsa.
Pancasila Sebagai Ideologi Non-Operasional
Kaelan (2004) menyebut Pancasila sebagai ideologi non-operasional, artinya lima sila Pancasila tidak bisa langsung diterapkan tanpa dukungan sistem. Agar Pancasila menjadi ideologi yang operasional, diperlukan empat komponen penting:
1. Peraturan perundang-undangan,
2. Pembentuk undang-undang (legislatif dan eksekutif),
3. Pelaksana peraturan,
4. Masyarakat.
Semua elemen ini harus bekerja secara terpadu dan selaras. Sayangnya, dalam praktiknya, pembentuk regulasi sering menjadi titik masalah, karena tafsir terhadap Pancasila kerap dipengaruhi oleh kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Refleksi Hari Lahir Pancasila
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Lahir Pancasila ini, anggota legislatif dan eksekutif perlu merenungi kembali perannya sebagai pelayan rakyat yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Mereka mesti menempatkan Pancasila sebagai bintang pemandu dalam setiap kebijakan dan keputusan. Begitu pula masyarakat, harus memahami dan menjalankan Pancasila bukan sebagai hafalan semata, tetapi sebagai nilai hidup yang mempersatukan.
Dengan meletakkan Pancasila pada tempatnya, kita berharap bangsa ini tetap kokoh berdiri dalam keberagaman, menjadi bangsa yang maju, adil, dan bermartabat di bawah naungan ideologi luhur yang telah digali dari akar bangsa sendiri.**)