“Aku tumbuh dari warung nasi yang hangat tapi sempit, dari peluh seorang ibu dan bayang-bayang ayah yang tak sempat menua.”
Di sebuah dusun kecil di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, lahirlah seorang anak lelaki—anak terakhir dari sebelas bersaudara. Namun saat ia mulai memahami arti keluarga, hanya enam yang masih bersamanya. Lima lainnya telah lebih dahulu kembali kepada Tuhan, menyisakan sunyi dan luka yang tak sempat ia kenali.
Ia bukan anak dari orang berada. Ayahnya hanyalah tukang jahit rumahan. Ibunya—perempuan tangguh yang kelak akan jadi pusat semesta hidupnya—membuka warung nasi kecil di belakang stasiun kereta api. Warung yang jadi tempat makan, tempat tidur, tempat berlindung, tempat bertahan. Warung itulah rumah mereka.
Warung itu juga saksi bisu dari lalu lalang pedagang keliling, penumpang kereta, dan perantau yang singgah sejenak melepas lelah. Dan di sana, bocah itu belajar diam-diam: bahwa hidup adalah perjalanan yang tak selalu memberi tahu kapan akan berhenti—atau kapan akan terhantam tragedi.
Tahun 1974, saat ia duduk di kelas 5 SD, dunia kecilnya runtuh. Ayahnya meninggal dunia, ditabrak kereta penumpang yang melaju dari Stasiun Prabumulih menuju Baturaja, saat menumpang truk yang melintas di perlintasan tanpa palang pintu. Tak ada isyarat, tak ada waktu untuk menghindar. Hanya dentuman besi dan tangis yang tak pernah ia lupakan.
Sejak hari itu, ibunya menggandakan kekuatan. Ia menjahit lebih banyak, memasak lebih sering, dan menyembunyikan air matanya di antara asap nasi yang mengepul. Dari perempuan sederhana itu, ia belajar tentang ketegaran yang tidak berisik—yang hanya bisa dibaca dari garis wajah dan tangan yang terus bekerja.
Setamat SD, anak itu harus membuat pilihan paling berat dalam hidupnya: meninggalkan sang ibu demi melanjutkan sekolah di Palembang, tinggal menumpang di rumah saudara. Setiap malam, rindu menggigit, tapi ia tahu, pendidikan adalah satu-satunya jembatan agar kelak bisa mengubah nasib.
Selesai SMA, ia sadar: kuliah bukanlah sesuatu yang bisa ia capai saat itu. Maka ia mencoba peruntungan di dunia kata. Ia menjadi wartawan lepas, menulis untuk sebuah media lokal, mencoba menyuarakan nasib kaum kecil—seperti dirinya dahulu.
Namun idealisme punya harga mahal. Sebuah tulisannya yang mengkritisi institusi tertentu membuatnya ditekan, dibungkam, dan terpaksa menghilang. Dalam senyap, ia memilih jalan baru: mendaftar menjadi prajurit TNI Angkatan Darat.
Dari pena ke senapan. Dari meja redaksi ke lapangan latihan. Ia memulai dari pangkat bintara, merangkak naik perlahan, melewati kerasnya disiplin dan beratnya pengabdian. Tapi ia tak pernah mundur. Sebab dalam dirinya hidup dua suara: doa ibunya—dan janji pada diri sendiri bahwa hidupnya harus berarti.
Puluhan tahun berlalu, dan pengabdiannya ditutup dengan pangkat yang membanggakan: Letnan Kolonel. Sebuah pencapaian luar biasa untuk anak dari warung nasi kecil di belakang stasiun.
Kini, ia adalah purnawirawan. Namun pengabdiannya tak berhenti. Tiga anaknya telah tumbuh dengan nilai yang sama: kerja keras, pengabdian, dan kejujuran.
Anak pertamanya, lulusan arsitektur, kini bekerja di salah satu kementerian di pemerintahan pusat.
Anak kedua, dokter gigi lulusan GIKI, mengabdi di puskesmas Tanjung Jabung Barat.
Dan si bungsu, Alhamdulillah, menjadi dosen psikologi di salah satu universitas di Jambi.
“Aku tak mewariskan harta, hanya teladan dan air mata,” katanya lirih, suatu ketika.
Hari ini, ia menuliskan kisah ini bukan untuk dihormati, bukan pula untuk dikenang dengan puja-puji. Ia hanya ingin kisahnya menjadi saksi bahwa dari rumah paling sederhana pun, bisa lahir pengabdian yang tulus untuk negeri.
Bahwa cinta seorang ibu, kehilangan ayah, dan perjuangan seorang anak dusun bisa menjelma menjadi jalan panjang yang penuh makna—selama kita tak menyerah, dan tetap melangkah.
Penulis: Jagat Taniwara54