Oleh: Yulfi Alfikri Noer, S.IP., M.AP
(Akademisi UIN STS Jambi)
SEBAGAI bagian dari upaya mendukung pembangunan Asta Cita dalam agenda nasional jangka panjang, arah kebijakan pembangunan Provinsi Jambi menempati posisi strategis sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. Dalam dokumen tersebut, Jambi ditegaskan sebagai provinsi penyangga bioindustri dan ketahanan energi di kawasan Sumatra. Salah satu langkah konkret dari kebijakan ini adalah pengembangan korporasi petani dan pengoptimalan kawasan komoditas unggulan, khususnya sawit, kelapa, dan karet.
Komoditas unggulan ini tersebar di berbagai wilayah strategis seperti Muaro Jambi, Tebo, Merangin, Bungo, hingga Tanjung Jabung Barat dan Timur. Bahkan dalam Draf RKP 2026 tertanggal 7 April 2025, kawasan Tanjung Jabung Timur dan Barat ditetapkan sebagai pusat pengembangan sawit dan kelapa, sementara Cekungan Batanghari diarahkan untuk penguatan sawit dan karet. Ini bukan sekadar pemetaan administratif, tapi menjadi cikal bakal desain kawasan unggulan menuju Indonesia Emas 2045.
Desain besar ini dibangun atas tiga pilar utama: hilirisasi, keberlanjutan, dan peningkatan ekonomi masyarakat. Jambi memang punya modal kuat: basis pertanian yang besar dan kontribusi subsektor perkebunan yang signifikan terhadap perekonomian daerah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kelapa sawit rakyat pada tahun 2024 mencapai 2,496 juta ton, dan produksi kelapa 114 ribu ton, dengan luas lahan sawit mencapai 1,1 juta hektare. Tak kurang dari 252 ribu kepala keluarga bergantung pada sektor ini. Kontribusi sawit terhadap PDRB Jambi juga meningkat dari 20,95 persen pada tahun 2022 menjadi 22,42 persen pada tahun 2023.
Komoditas karet pun tak kalah penting. Dengan luas kebun rakyat 601,8 ribu hektare dan produksi sekitar 430.000 ton per tahun, karet menjadi penopang ekonomi rumah tangga petani di Batanghari, Bungo, hingga Tebo. Sayangnya, nilai tambah dari sektor ini masih rendah karena sebagian besar industri pengolahan hanya menghasilkan crumb rubber sebagai bahan setengah jadi.
Secara nasional, hilirisasi sawit telah memberi dampak besar. Kapasitas pengolahan CPO meningkat dari 25 juta ton pada 2010 menjadi 75 juta ton pada 2022. Produk turunan seperti biodiesel, oleokimia, dan oleofood kini mendominasi ekspor sawit, yang menyumbang 73 persen dari total ekspor sawit Indonesia.
Namun, keberhasilan ini tidak merata. Beberapa daerah dengan potensi besar justru tertinggal karena minimnya infrastruktur dasar, lemahnya koperasi, dan sertifikasi ISPO yang rendah. Ini menjadi pengingat bahwa potensi tanpa dukungan kebijakan yang konkret dan berpihak bisa menjadi fatamorgana belaka.
Jambi memiliki semua elemen dasar untuk mengembangkan hilirisasi secara inklusif. Namun, sejumlah hambatan masih mengemuka: akses modal terbatas bagi koperasi dan petani kecil, infrastruktur dasar seperti pelabuhan dan jalan produksi belum merata, serta tantangan legalitas dalam sertifikasi ISPO dan RSPO yang dihadapi petani rakyat.
Di sisi lain, indikator kesejahteraan petani juga menunjukkan tren fluktuatif. Nilai Tukar Petani (NTP) sempat menyentuh angka 172,17 pada Desember 2024, namun kembali turun menjadi 166,94 pada Juni 2025. Ini menandakan daya beli petani mulai tergerus, dan potensi keuntungan dari hilirisasi belum sepenuhnya dirasakan di tingkat akar rumput.
Agar hilirisasi tidak menjadi simbol pembangunan semu, Jambi perlu mengimplementasikan tiga strategi utama. Pertama, membangun infrastruktur dasar seperti pelabuhan mini, jalan produksi, dan jaringan listrik di sentra produksi. Akses pembiayaan dari BPDPKS, KUR, maupun dana desa juga harus diarahkan untuk koperasi petani dan BUMDes.
Kedua, penguatan kelembagaan dan sertifikasi. Pemerintah perlu memperkuat koperasi petani sebagai motor hilirisasi dengan dukungan pelatihan teknis dan fasilitasi sertifikasi ISPO/RSPO. Akses terhadap pasar nasional maupun ekspor juga perlu dibuka selebar-lebarnya.
Ketiga, pentingnya transparansi, partisipasi, dan pengawasan publik. Distribusi manfaat hilirisasi harus dilakukan secara terbuka dan adil. Monitoring sosial dan audit publik menjadi kunci agar pembangunan tidak dikuasai oleh korporasi besar semata.
Desain kawasan unggulan di Jambi bukanlah sekadar konsep di atas kertas. Ia adalah peluang emas untuk membangun masa depan yang lebih berpihak dan berakar dari kekuatan lokal. Namun, desain saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian memperbaiki arah jika terbukti tidak adil, serta kemauan mendengar suara rakyat.
Keberhasilan transformasi ekonomi Jambi akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah menjadikan petani sebagai subjek pembangunan, bukan hanya objek statistik. Jika arah ini ditempuh dengan ketulusan, maka desain besar kawasan unggulan sawit, kelapa, dan karet bukanlah utopia, melainkan keniscayaan sejarah yang sedang ditulis bersama rakyat. (JT54)