Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
DELAPAN puluh tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia tampak merdeka secara fisik. Bendera Merah Putih terus berkibar di langit Nusantara, lagu kebangsaan dinyanyikan dengan semangat, dan upacara-upacara diselenggarakan tiap tahun. Namun di balik kemeriahan simbolik itu, banyak rakyat justru merasa semakin jauh dari makna kemerdekaan yang sejati.
Hari ini, bangsa ini tidak lagi dijajah oleh bangsa asing yang membawa senjata. Tapi kita menyaksikan penjajahan yang lebih licik dan menyakitkan: oleh elite sendiri yang haus kekuasaan dan rakus harta. Kekuasaan berubah menjadi alat dominasi, bukan pengabdian. Negara dibangun untuk melayani segelintir, bukan seluruh rakyat.
Korupsi tak lagi sekadar perilaku menyimpang, tapi telah menjadi sistem. Ia tumbuh subur di balik proyek-proyek infrastruktur, bantuan sosial, dan kebijakan publik. Retorika “demi rakyat” hanya jadi pembungkus indah untuk mengelabui. Rakyat hanya hadir dalam statistik pembangunan atau narasi kampanye.
“Demi rakyat kami bekerja,” begitu katanya. Tapi realitas berkata lain: harga-harga melonjak, ketimpangan sosial makin lebar, hukum kian berat sebelah. Rakyat yang berteriak demi keadilan dibungkam, tapi mereka yang menjarah uang negara malah dilindungi atau dinegosiasikan hukumannya.
Kemerdekaan seharusnya adalah keadilan yang merata, kedaulatan yang nyata, dan kesejahteraan yang terjamin. Tapi saat tanah dikuasai oligarki, hukum dikendalikan kekuasaan, dan suara rakyat disunting demi stabilitas palsu, maka “kemerdekaan” hanya tinggal seremoni.
Ironi ini kian dalam ketika konstitusi dilanggar demi kepentingan politik sesaat, dan Pancasila sekadar jadi jargon di spanduk-spanduk upacara. Para pejuang yang dulu bertaruh nyawa demi kemerdekaan mungkin kini menangis dari alam sana, melihat bagaimana cita-cita mereka dikhianati oleh generasi yang berkuasa hari ini.
Sejarah tidak buta. Ia akan mencatat dengan jelas siapa yang berdiri di sisi rakyat, dan siapa yang menjajah dengan jas elegan dan senyum manis kekuasaan.
Merdeka!