Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Pendahuluan :
Beersheba terbakar, Natanz lumpuh, dan Tel Aviv bergetar dalam kepanikan. Sejak 13 Juni 2025, dunia menyaksikan lonceng perang berbunyi lebih nyaring dari sebelumnya. Serangan udara masif yang diluncurkan Israel ke instalasi nuklir Iran—termasuk Arak, Natanz, dan Fordow—telah memicu respons balistik yang mengguncang jantung Negeri Zionis.
Konflik yang awalnya berskala regional kini menjelma menjadi detonator global. Dalam bayang-bayang drone dan rudal, dunia menggigil: apakah Perang Dunia Ketiga akan meletus jika Amerika Serikat benar-benar turun tangan?
Bagian I: Israel sebagai Trouble Maker dan Pelanggar Hukum Internasional
Dalam perspektif hukum internasional, tindakan Israel yang menyerang infrastruktur nuklir Iran tanpa mandat Dewan Keamanan PBB merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain. Bahkan, menurut Statuta Roma (1998), serangan pre-emptive terhadap infrastruktur sipil dan nuklir bisa dikategorikan sebagai kejahatan agresi.
Israel telah berulang kali melanggar Resolusi PBB seperti Resolusi 487 (1981) dan 2231 (2015), serta tidak menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT)—sementara Iran adalah penandatangan aktif NPT dan menyetujui inspeksi IAEA.
Dalam istilah moral dan strategis, Israel telah menabur angin—dan kini mulai menuai badai.
Bagian II: Eskalasi dan Konsekuensi Global
Balasan Iran berupa rudal balistik ke Beersheba dan Tel Aviv yang melukai ratusan warga sipil adalah puncak dari kemarahan yang terakumulasi. Sistem pertahanan Iron Dome kewalahan. Di sisi lain, Hezbollah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak mengaktifkan poros perlawanan (Axis of Resistance) terhadap pangkalan militer AS dan sekutu Israel.
Rusia dan China memperingatkan keras terhadap intervensi AS. Diplomat Rusia menyatakan bahwa dunia kini hanya tinggal milimeter dari bencana nuklir global. Beijing bahkan menyebut serangan Israel sebagai “agresi brutal dan tidak beralasan terhadap kedaulatan negara lain”.
Dampak ekonomi sudah terasa. Minyak mentah mendekati USD 100/barel, dan bisa menembus USD 150 jika Selat Hormuz diblokir. Indonesia berada di ujung tanduk krisis energi dan inflasi parah. Rupiah melemah tajam, pasar modal bergejolak, dan ketahanan fiskal diuji.
Bagian III: Nubuat Al-Qur’an dan Masa Depan Zionisme
Dari sudut pandang teologis Islam, konflik ini bukan hanya politik dan militer, tapi juga bagian dari nubuat eskatologis. Dalam Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 4-7, Allah menjelaskan bahwa Bani Israil akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali, dan pada kedua kalinya akan datang hamba-hamba Allah yang kuat untuk menghancurkan mereka.
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar’.”
(QS Al-Isra: 4)
Banyak mufasir modern menyimpulkan bahwa kita kini tengah menyaksikan fase kehancuran kedua itu. Zionisme telah memuncak dalam kesombongan kekuasaan, kolonialisme, dan kekejaman di Palestina, dan kini dunia—secara spiritual maupun politik—mulai membersihkannya.
Bagian IV: Menuju New World Order yang Islami
Konflik ini dapat menjadi gerbang menuju apa yang disebut sebagai tatanan dunia baru atau New World Order. Tapi bukan versi hegemoni Barat, melainkan kebangkitan spiritual dan keadilan global dalam bayang-bayang nilai-nilai tauhid, keadilan, dan rahmat semesta alam.
Jika perang Armagedon benar-benar terjadi (sebagaimana disebut dalam literatur eskatologis), maka ia akan menjadi titik balik, bukan kiamat, melainkan kemenangan nilai-nilai kebenaran atas kezhaliman global. Dunia akan bersih dari kekuatan tirani dan Zionisme, dan memasuki masa keemasan umat Islam yang menjunjung tinggi ilmu, keadilan, dan tauhid.
Penutup: Dunia di Ambang Sejarah Baru
Apa yang terjadi kini bukan sekadar perang antarnegara, melainkan ujian moral peradaban. Di satu sisi berdiri kekuatan imperialis yang terus menekan, memprovokasi, dan melanggar hukum. Di sisi lain, muncul gelombang perlawanan yang bukan hanya militer, tapi spiritual dan ideologis. Dunia tengah menuju simpang jalan: apakah memilih jalan kehancuran, atau pencerahan.
Dan sejarah telah mencatat: siapa yang menabur angin, akan menuai badai.