80 Tahun Merdeka, Tapi Bangsa Ini Masih Tertidur dalam Cengkeraman Korporasi dan Asing
Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
Jakarta – Delapan dekade sudah bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan fisik oleh Belanda dan Jepang. Namun, apakah bangsa ini benar-benar telah bebas? Atau hanya berpindah bentuk dari penjajahan militer menjadi penjajahan ekonomi dan budaya? Inilah pertanyaan kritis yang diajukan Laksamana Pertama TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla., dalam opininya yang menyoroti fenomena apatisme nasional sebagai bentuk kegagalan pascakemerdekaan.
Dalam refleksinya, Laksma Jaya menyatakan bahwa Indonesia hari ini tengah menghadapi krisis yang tak terlihat namun sangat mendalam: apatisme kolektif—sikap masa bodoh yang melanda bangsa dari elit hingga rakyat bawah, terhadap pengelolaan negara dan kekayaan alamnya sendiri. Padahal, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Namun realitas berkata sebaliknya.
Mengutip buku karyanya berjudul “Kedaulatan SDA untuk Kesejahteraan Rakyat”, ia menegaskan bahwa krisis utama bangsa Indonesia bukan semata pada dimensi politik atau ekonomi, melainkan krisis kesadaran nasional. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa melimpah—seperti emas, minyak, gas, nikel, dan batu bara—lebih banyak dinikmati oleh pihak asing dan korporasi besar, sementara rakyat justru harus membayar untuk layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
“Negara seolah hanya menjadi administrator perizinan, bukan lagi pengelola mandiri atas kekayaan bangsanya,” tulisnya. “Padahal lebih dari 80% APBN kita berasal dari pajak rakyat. Rakyat menanggung negara, bukan sebaliknya.”
Fenomena ini menurutnya menunjukkan disonansi antara semangat kemerdekaan dan realitas kebijakan negara. Lagu kebangsaan Indonesia Raya yang menyerukan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” menjadi sekadar simbol tanpa substansi jika rakyat tidak terbangun dari keterlenaan, dan pemimpin justru menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan global.
Laksma Jaya lalu mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk merenung dan bertanya:
Mengapa kita diam? Mengapa kita apatis di tengah penjajahan gaya baru yang nyata?
“Apatisme bukan hanya bentuk kelemahan psikologis. Ia adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Ketika rakyat tidak peduli terhadap arah pengelolaan sumber daya nasional, ketika para pemimpin lebih setia kepada kepentingan asing daripada kepada bangsanya sendiri, maka bangsa ini belumlah benar-benar merdeka,” tegasnya.
Ia menyerukan agar seluruh elemen bangsa bangkit dan mengambil kembali kendali atas nasib dan masa depan bangsa ini. Menurutnya, kemerdekaan sejati hanya bisa diraih dengan kesadaran, keberanian, dan semangat untuk mengelola negeri ini demi rakyatnya sendiri, bukan untuk kejayaan korporasi atau negara asing.
“Bangkitlah Indonesia! Jangan hanya jadi penonton di negeri sendiri. Bangun jiwamu, bangun badanmu, untuk Indonesia Raya—bukan untuk kepentingan para penjajah gaya baru,” pungkasnya.**)
Wallahu a’lam bisshawab.